Selasa, 24 Februari 2015

Mengapa Pakai Q, Bukan ‘?

Susah membaca judul? Maksudnya, Mengapa pakai huruf “q”, bukan koma atas?
Mengapa beruq-beruq, bukan beru’-beru’ dan mengapa sandeq, bukan sande’?
Kalimat pertama di atas paling sering diajukan, yang kedua malah jarang. Padahal sama-sama menggunakan “q”, bukan “ ‘ “ (koma atas atau hamzah atau glottal stop atau simbol asotrof).
Kadang saya juga merasa janggal bila membaca kata bahasa Mandar yang menggunakan huruf “q” sebagai pengganti simbol koma atas. Apalagi kalau orang luar yang baca, pasti ganjil kedengaran. Sebab “q” dimaknai sebagai sebuah huruf, bukan sebagai sebuah bunyi yang khas yang disebut “glottal stop” atau hentian glotis. Glotis ialah istilah teknikal untuk jurang antara lipatan vokal yang dirapatkan ketika menghasilkan bunyi ini.
Sebab sering ada yang bertanya (kadang bernada protes), maka dalam tulisan ini saya menjelaskan sedikit tentang alasan penggunaannya.




Dalam Kamus Bahasa Mandar Indonesia yang disusun Abdul Muthalib, semua kata atau entri yang ada nada hentian glotis menggunakan huruf “q” sebagai pengganti simbol hamzah atau koma atas. Sebagaimana yang dituliskan di halaman Petunjuk Pemakaian, “Tata bunyi bahasa Mandar mengenal 24 fonem, yaitu: 17 fonem konsonan /b p d t c k q* j g s h m n n l r/ 2 fonem semi konsonan /w y/, dan 5 fonem vokal /i e a u o/ …”
Huruf “q” di atas diberi tanda * yang dijelaskan kemudian “* bunyi hamzah (“glotal stop”) sebagai fonem yang dapat menduduki posisi tengah dan belakang”.
Apakah Abdul Muthalib (dan ahli-ahli bahasa lain) suka-sukanya menggunakan aturan itu? Tidak. Mereka melakukan musyawarah untuk kemudian disepakati; mereka melakukan Loka Karya Pembakuan Ejaan Latin Bahasa-bahasa Daerah di Sulawesi Selatan pada 25 – 27 Agustus 1975 di Ujungpandang, merupakan tindak lanjut akan hasil Seminar Pembakuan Ejaan Latin Bahasa-bahasa Daerah di Sulawesi Selatan, 28 – 29 Maret 1975 di Aula Benteng Ujungpandang.
Sebab, setahu saya, belum ada seminar yang bertujuan untuk memperbaharui (mengganti kesepakatan), maka (dengan alasan ilmiah) saya berpedoman pada aturan seminar dan loka karya tersebut (menggunakan huruf “q” sebagai pengganti koma atas atau apostrof atau “glotal stop”).
Saya belum tahu persis apa alasan para ahli tersebut lebih memilih menggunakan “q” dibanding koma atas. Hingga kemudian saya membaca tulisan Sirtjo Koolhof atas keluh kesah teman-teman di Penerbit Ininnawa akan dilema penggunaan simbol “glottal stop”. Berikut kutipan tanggapan Sirtjo Koolhof, ahli La Galigo dari Belanda, atas tulisan Tiga Tanda Menguak Takdir Pembacaan Bahasa (Bugis):
Pertama-tama kita harus membedakan bunyi fonem yang ada dalam bahasa Bugis, yaitu glottal stop pada akhir suku kata, dan huruf yang melambangkan salah satu fonem. Pada dasarnya setiap lambang atau huruf bisa digunakan untuk salah satu fonem, asal dapat dibedakan dari fonem yang lain.
Lalu, mengapa dalam edisi La Galigo kami gunakan huruf q untuk melambangkan fonem glottal stop dalam transkripsi bahasa Bugis, dan bukan huruf k atau ‘? Ada alasan teoretis, dan ada yang praktis.
Huruf ‘k’ tidak dipilih karena kalau ada tambahan dengan suffiks (akhiran kata), kadang-kadang ‘muncul’ huruf ‘s’, ‘r’, atau ‘k’. Misalnya: baluq – balureng, balukeng; leppeq – leppesseng; lappaq – lappareng; dst. Karena itu, huruf k kurang cocok untuk melambangkan fonem glottal stop, karena selain ‘k’, ada juga ‘s’ dan ‘r’ yang ‘di bawah’ fonem glottal stop itu.
Sisa pilihan antara apostrof ( ‘ ) dan huruf ( q ). Tanda apostrof dalam tulisan bahasa Bugis dengan huruf Latin juga dipakai sebagai tanda petik. Berarti bisa memunculkan ambiguitas dan keanehan. Seperti: ‘malebbi”, atau ambiguitas ‘Taro a’ ménré’ ri sao kuta pareppa’é’: di mana kutipan berakhir?
Selain menghindari ambiguitas dan keanehan dalam ejaan ada alasan praktis juga untuk memilih huruf ‘q’ sebagai lambang fonem glottal stop. Alasan itu berhubungan dengan zaman komputer: dalam konvensi digital lambang apostrof tidak dihitung sebagai huruf, berarti tidak menjadi bagian dari kata. Misalnya nama Patoto’e dijadikan dua kata: Patoto dan e; sama halnya dengan kata pareppa’e dalam kutipan di atas.
Sisa satu huruf yang paling cocok untuk melambangkan fonem glottal stop dalam bahasa Bugis, yaitu huruf q:
1)    Dalam beberapa bahasa memang digunakan untuk melambangkan glottal stop;
2)    Karena tidak dipakai dalam bahasa Bugis yang ditulis dengan huruf Latin untuk fonem yang lain (tidak ada ambiguitas);
3)    Dapat melambangkan fonem ‘di bawah’ (s, r dan k); dan
4)   Secara praktis dalam file digital q diperlakukan sebagai huruf-huruf yang lain, berarti jadi bagian integral kata-kata.
Apa yang dikemukakan Koolhof sangat masuk akal. Saya tambahkan contoh, bila menuliskan istilah lokal ke dalam sebuah tulisan berbahasa Indonesia, idealnya istilah tersebut dibedakan dengan kata lain (yang berbahasa Indonesia). Ada beberapa teknik, tapi yang disepakati ialah kata atau kalimat tersebut dibuat miring (italic) atau diberi kutipan. Kalau miring tak ada masalah, tapi kalau tanda kutip?
- Bahasa Mandar mencuri adalah maccoroq
- Bahasa Mandar mencuri adalah “maccoro’”
Apa beda dua kalimat di atas? Pada kalimat kedua, “glottal stop”-nya tak terlihat atau tersamar, sebab didekatnya ada tanda kutip.
Juga ada yang berdalih, katanya, kalau pakai “q” akan membuat orang salah baca. Menurut saya ini hanya masalah kebiasaan atau bisa juga ketidakpahaman. Saya katakan demikian, sebab ternyata ada banyak kasus atau contoh di bahasa Indonesia, simbol “glottal stop” itu menggunakan huruf, baik “q” maupun huruf “k”, BUKAN “ ‘ “ (koma atas).
Contoh: ucapan ko’ ditulis koq; tida’ menjadi tidak; so’ ditulis sok, bengko’ ditulis bengkok; bebe’ ditulis bebek, henta’ menjadi hentak, dan lain-lain.
Artinya, sebenarnya kita telah mempraktekkan mengganti koma atas dengan huruf saat menuliskannya. Hanya tidak disadari. Baru tersadar ketika kata tersebut (baca: bahasa daerah) dituliskan.
Tapi tak berarti saya menyalahkan bagi yang bertahan menggunakan simbol koma atas. Yang penting adalah bersikap konsisten. Misalnya ketika menggunakan beru’-beru’, maka yang lain pun harus pakai koma atas. Seperti sandeq menjadi sande’, lipaq saqbe menjadi lipa’ sa’be. Kalau mau lebih konsisten, yang bahasa Indonesia pun demikian, jangan cuma bahasa daerah dong.
Kesimpulannya, membaca tulisan Mandar yang mana pada kata tersebut ada huruf “q” di tengah atau di akhir, itu adalah pengganti simbol “glottal stop” atau hamzah.
Contoh:
Maqita (melihat) diucapkan ma’ita BUKAN maQita
Maquduq (mencium bau) diucapkan ma’udu’  BUKAN maQuduQ
Maqgalung (bersawah) diucapkan ma’galung
Maqelong (menyanyi) diucapkan ma’elong BUKAN maQelong
Maqbaluq (menjual) diucapkan ma’balu’

*sumber : http://ridwanmandar.blogspot.com/2014/12/mengapa-pakai-q-bukan.html

0 komentar:

Posting Komentar