Foto : Muhammad Ridwan Alimuddin |
Dalam bahasa Mandar, kain sutra kadang disebut “saqbe”, kadang “lipaq
saqbe”. Mungkin karena kata kain dalam Bahasa Mandar tidak ada kata khususnya.
Paling perubahan, dari kain menjadi “kaeng”. Makanya jarang kita dengar “kaeng
saqbe”.
Di kalangan komunitas pengerajin kain “sutra” (kata sutra di sini saya beri
tanda kutip), ada beberapa istilah untuk menyebut jenis atau kualitas kain
“sutra” yang dihasilkan penenun (“panetteq”) Mandar. Ada dibilang “saqbe asli”,
ada “saqbe india”, “saqbe cina”, dan lain-lain. Jika berdasar harga, setidaknya
ada dua, yang murahan (di bawah Rp 150.000) dan yang mahal (rata-rata Rp
300.000).
Nah, yang laku di pasaran adalah yang murah. Sangat laku! Sebab murah, maka
terjangkau. Sebab rata-rata masyarakat kita penghasilannya tidak seberapa dan
cari yang murah, tentu yang dibeli yang murah. Kadang, biar banyak uangnya juga
cari yang murah.
Juga, kalau membutuhkan “sutra” dalam jumlah banyak, misal akan dibuat baju
seragam atau keperluan lain yang memakai kain “sutra”, maka yang dibeli tentu
yang murah. Pertanyaannya, kenapa bisa murah? Apakah pada kain yang murah itu
patut disematkan kata “saqbe” atau “saqbe mandar”?
Di kalangan pedagang sarung tenun, setidaknya ada tiga kualitas atau jenis
benang, yaitu yang nomor satu, nomor dua, dan nomor tiga. Nomor satu adalah
benang sutra alami yang diimpor dari Hongkong atau Cina, nomor dua sutra yang
dihasilkan lokal (misalnya Enrekang), dan yang nomor tiga adalah benang impor
yang juga datang dari Cina.
Perbedaan mendasar antara satu dan dua dengan tiga adalah antara alami
dengan tidak alami. Disinilah persoalannya!
Benang sutra alami (“saqbe”) dihasilkan dari kepompong ulat sutra.
Kepompongnya sebesar ibu jari, hasil budidaya oleh peternak. Makanan utamanya
adalah daun murbei. Waktu saya masih sekolah di MTsN, jika libur, saya biasa ke
pedalaman Allu, yaitu Pao-pao atau Ratte Matama (sekarang tidak pedalaman lagi
sebab mobil bisa ke dalam) ikut paman membudidayakan ulat murbei.
Pada usia tertentu, kepompong itu diolah, diambil benangnya. Inilah benang
“saqbe” asli, sebab betul-betul alami. Benang itu ada kualitasnya. Dipengaruhi
oleh kualitas ulat, warna, dan kehalusan benang atau serat yang dihasilkan.
Sepertinya tak ada lagi budidaya ulat sutra di Mandar. Paling dekat itu
Enrekang. Jika pun ada yang datang dari Enrekang, itu kualitas nomor dua.
Kabarnya, kualitas nomor satu diekspor ke India. Ironisnya, kualitas benang
nomor satu diimpor, khususnya dari Hong Kong.
Harga per kilogram sutra asli nomor satu itu 900-san ribu rupiah, sedang
kualitas nomor dua 600-san ribu rupiah. Rata-rata dari satu kilogram sutra asli
bisa dihasilkan 3 – 4 sarung sutra. Tergantung ukuran sarung yang diinginkan.
Bandingkan dengan benang “saqbe” palsu alias sintetis yang berbahan
polyster (bahannya dari minyak bumi, satu keluarga dengan plastik), per
paketnya (1 kg benang “nekel” + 1 kg polyster) hanya Rp 150.000 yang bisa
menghasilkan jumlah sarung sedikit lebih banyak.
Harap dicatat, benang “saqbe” alami di atas belum diolah. Pengolahannya
juga setingkat lebih rumit dibanding dengan sutra alami: benang yang dibeli
(masih berbentuk pintalan) yang warnanya agak krem dicuci terlebih dahulu.
Proses pencuciannya butuh waktu tiga hari. Benang sutra yang telah dicuci harga
per kiloannya Rp 750.000 (sudah masuk ongkos kerja). Nanti setelah dicuci baru
memasuki tahapan “maccinggaq” atau pewarnaan. Benang yang diwarnai tergantung
jenis atau motif (“sureq”) sarung yang akan dibuat.
Adapun sutra palsu, tidak perlu menjalani proses pencucian. Bisa langsung
diwarnai untuk kemudian ditenun. Penampakannya putih bersih, mengkilat.
Tahapan setelah pencucian, yaitu dari “manggalenrong” atau “mappamaling”
(melilitkan benang ke kaleng), “massumauq” (menyusun motif), hingga “manetteq”
(menenun) antara sutra palsu dengan yang asli bisa dikatakan tidak ada
perbedaan. Prosesnya sama-sama merepotkan, membutuhkan ketelatenan. Rata-rata 5
– 7 hari untuk selembar kain yang jika dijahit akan menjadi sarung (“lipaq”).
Sebagaimana yang disampaikan di awal, harga selembar kain sutra Mandar
hasil tenunan wanita-wanita Mandar itu ada dua, yang murah dan yang mahal.
Sekilas, perbedaan harga disebabkan oleh perbedaan kualitas atau jenis benang
yang digunakan. Yaitu asli dengan yang palsu. Sampai di sini mungkin tidak ada
persoalan. Namun, jika memasukkan proses pembuatan, ternyata ada masalah besar
yang tidak kita sadari.
Jika mengerjakan benang asli, para pengerajin kain sutra di Mandar bisa
dapat untung sampai Rp 100 ribu. Jika dirata-ratakan, pendapatan per hari Rp 20.000.
Tapi kalau mereka mengerjakan kain sutra yang berbahan palsu, berapa
keuntungan yang mereka dapatkan? Berapa “margin” atau selisih antara ongkos
pembelian benang dengan keuntungan jual sarung? Jika mereka mendapat Rp 20.000
– Rp 50.000, kalau itu dibagi 5 (hari kerja), maka gaji mereka per hari Rp
4.000 atau Rp 10.000 saja? Dan tak menutup kemungkinan, mereka seolah-olah
mendapat keuntungan padahal pada dasarnya tidak alias keuntungan semu. Sebab
proses kerja mereka tak terbayar.
Menurut pendapat saya, orang kaya atau orang mampu lebih mengutamakan
membeli kain “sutra” yang murah bisa menjadi pelecehan yang tak disadari. Coba
bayangkan, untuk selembar kain yang dikerjakan dengan keterampilan dan
ketelatenan luar biasa hanya dihargai dengan harga Rp 5.000 Masalah lain adalah, ternyata apa yang kita anggap selama ini adalah sutra
(“saqbe”) ternyata bukan “saqbe”, melainkan benang buatan atau sintetis yang
bahannya sama dengan pakaian atau celana yang kita beli di toko (kecuali yang
berbahan katun atau kapas). Yang berbeda hanyalah di mana kain itu ditenun
(antara tenunan pabrik dengan tenunan “panetteq” Mandar) dan motifnya (umumnya
Mandar kotak-kotak). Dengan kata lain ada banyak yang kecele. Dianggapnya sutra
asli padahal sutra palsu alias sintetis.
Lalu, yang manakah disebut “saqbe mandar” yang kita bangga-banggakan selama
ini?
Bersambung....
*sumber : http://ridwanmandar.blogspot.com/2014/10/mempertanyakan-defenisi-saqbe-mandar-01.html
0 komentar:
Posting Komentar