Setahu saya, masyarakat umum terdidik (baca: yang pernah menempuh
pendidikan sampai universitas) Tinambung yang memiliki minat terhadap fotografi
(bukan sebagai pekerjaan, tapi sebagai hobby) era 90-an hanya ada dua, yaitu
Asmadi Alimuddin dan Syariat Tadjuddin. Parameternya, mereka punya kamera SLR
dan biasa melakukan hunting(pemotretan) bukan
karena pesanan (untuk membedakan dengan fotografer yang hanya memotret
acara-acara pernikahan atau acara lain).
Asmadi Alimuddin atau Asmadi Taro orang Tinambung yang kuliah di ISI
Yogyakarta. Jurusannya teater, tapi ada minat ke fotografi. Beberapa kali
hunting foto di beberapa tempat di Mandar.
Adapun Syariat Tadjuddin, (dulu) seorang wartawan (sekarang PNS di Pemkab
Majene). Pernah menuntut ilmu hukum di Universitas Andalas Padang dan menjadi
wartawan di Kalimantan Timur dan Makassar. Jadi bisa diartikan, basis Syariat
adalah dokumentasi jurnalis, beda dengan Asmadi yang tidak pernah bekerja di
media, misalnya sebagai fotografer lepas (stringer).
Belakangan, setelah bekerja sebagai PNS di Palu (untuk kemudian di Mamuju)
dan mempunyai kesibukan lain, Asmadi sepertinya tidak melanjutkan hoby
fotografinya. Beda dengan Syariat, masih berlanjut sampai sekarang. Dengan
istilah lain, Syariat, yang juga mantan ketua Teater Flamboyan, lanjut ke
fotografi digital, sedang Asmadi tidak. Pada tahun 1997 Syariat menggunakan SLR
Yashica, tahun 2000 SLR Canon, dan DSLR Nikon D5000 Februari 2010.
Pengguna DSLR lainnya di Tinambung adalah Studio Rusman (usaha almarhum H.
Safar yang sekarang dikelola anak-anaknya), Wahyudi (tinggal di
Tangnga-tangnga, sekarang menuntut ilmu fotogarfi di Yogyakarta) dan DJ Abi
Qiffary (sekarang menuntut ilmu di Makassar). Ketiganya menggunakan EOS 1000D
(Studio Rusman juga menggunakan Nikon D3000).
Yudhi membeli kameranya pada Mei 2009 dengan harga Rp 5,8 juta. Nanti pada
tahun 2010 bertambah pengguna DSLR di Tinambung. Selain M. Syariat Tadjuddin
yang saya tuliskan sebelumnya, juga Abu Madyan. Mereka menggunakan Nikon D5000.
Menurut Abu Madyan, dia membeli kameranya pada Mei 2010 dengan harga Rp 6,3
juta.
Sedang fotografer Tinambung yang masih menggunakan SLR analog dalam arti
sepenuhnya (tak memiliki digital) antara lain adalah Sabri, Husain (putra Ga’de
sekarang tinggal di Pambusuang), dan beberapa fotografer yang “ber-asosiasi” ke
beberapa “orang bencong” yang menyediakan jasa penyewaan perlengkapan pesta
pernikahan dan make up-nya.
Sabri
Sabri tinggal di Tinggas-tinggas, antara mesjid Tinggas-tinggas dan kantor
PLN Tinambung. Dulunya berguru atau bekerja di Studio Pammase milik Ismail
(Suma’ila). Sejak tahun 1998, telah memiliki kamera sendiri, yakni Nikon FM10.
Walau Sabri dikenal sebagai fotografer pesta pernikahan, sebagaimana
kebanyakan fotografer “profesional” di Tinambung, dia sedikit banyak berbeda
dengan kolega-nya. Sabri memiliki sedikit rasa hobi atau kecintaan terhadap
fotografi. Menggunakan istilah “sedikit” untuk membedakan tingkat kecintaan
terhadap dunia fotografi yang dimiliki oleh H. Djawahir, H. Murad, dan Muluk
Yasil.
Artinya, karya-karya Sabri sebagian besar masih berdasar pada pesanan.
Untuk mengambil gambar dalam rangka kepuasan dan sebagai dokumentasi sejarah,
belum.
Saat ini Sabri menggunakan dua jenis kamera, selain Nikon, juga
Braun. Menurutnya, lensa Nikkor (milik Nikon) bisa dipasang ke kamera Braun.
Dia mempunyai cita-cita bisa belajar fotografi secara akademis. “Kalau ada
kursus fotografi di Makassar yang diselanggarakan Darwis Triadi, saya mau
ikut”, ungkapnya.
Menariknya, Sabri masih menyimpan foto (tapi sudah repro) saat dia bayi
yang tukang fotonya Toke Ballang. Meski tidak tahu banyak tentang Toke Ballang,
Sabri tahu bahwa fotografer yang dulu terkenal adalah Toke Ballang.
Desa-desa di sekitar Tinambung juga ada beberapa fotografer bangkotan. Yang
masih berkarya sampai saat ini adalah Karim (Desa Pambusuang) dan Kandallang
(Desa Paropo). Saya sudah pernah melihat aksi Karim dan telah mewawancarainya,
sedang Kandallang belum.
Karim, tukang becak merangkap fotografer di Pambusuang Foto : Muhammad Ridwan Alimuddin |
Yang menarik di Karim, selain sebagai fotografer, dia juga merangkap
sebagai nelayan (dulu) dan tukang becak (sekarang, sampai saat ini). Bagi saya,
ini sesuatu yang unik. Jarang ada seorang fotografer yang kerjanya rangkap
sebagai tukang becak. Tanpa bermaksud merendahkan pekerjaan tukang becak, kerja
fotografer identik dengan pekerjaan elit, sedang tukang becak pekerjaan kasar.
Umur Karim saat ini 50 tahun, lahir di Dusun Ba’balembang, Desa Pambusuang.
Hanya sekolah sampai kelas 3 SD. Tidak tamat. Alasannya, sering diganggu
anak-anak tentara 710 dan kerja di laut bisa dapat uang banyak.
Setelah beberapa tahun melaut, Karim diajak sebagai pegawai di studio milik
Tanwi, di Pasar Pambusuang. Tanwi termasuk fotografer awal di Mandar, khususnya
di Pambusuang. Sebelum tinggal di Pambusuang, Tanwi tinggal di Ujung Lero,
Pinrang (tak jauh dari kota Pare-pare). Kemungkinan besar, Tanwi pernah atau
mendapat pengaruh dari orang Cina yang bekerja sebagai tukang foto di
Pare-pare.
Menurut Karim, bosnya menggunakan kamera merk Sanghai “yang membungkus saat
menggunakannya”. Dia juga bisa bekerja di kamar gelap. Saat Tanwi pindah ke
Kotabaru (P. Laut, Kalimantan Selatan) yang membawa serta kamera kunonya, Karim
bekerja sendiri. Nama studionya “Mekar”. Dia menggunakan Nikon. Merknya sudah
aus tanda kameranya sudah tua.
Dulu, tahun 70-80an, Karim bekerjasama dengan studio milik H. Murad dan
paman saya, Muluk Yasil. Baik untuk beli negatif, servis, maupun cuci cetak.
Menurut Karim, saat ini permintaan memotret sangat kurang. “Saya ini hanya
dapat sisa-sisa pesanan. Kalau yang lain sudah penuh, baru saya dapat”,
menurutnya. Sebab itulah, sehingga dia merangkap sebagai tukang becak. Begitu
cintanya pada kegiatan fotografi, becaknya diberi nama “Konica 1” dan “Konica
2”.
Sekarang Karim tinggal sendiri. Isterinya telah meninggal dunia, tak ada
anak. Rumahnya sederhana tapi menarik. Di dinding depan, yang dicat warna khas
Argentina, dipasangi poster-poster peserta Piala Dunia 2010. Di atas pintu
masuk, terdapat plank “Poto Studi Mekar M. Karim Pbs”.
Suasana dalam rumah masih ada jejak-jejak bahwa ruangan rumahnya juga
adalah studio. Ada beberapa lukisan yang biasa dijadikan latarbelakang saat ada
yang dipotret dan lemari kaca, tempat yang dulunya diletakkan rol, bingkai yang
dijual. Ada juga foto dirinya bersama artis-artis lokal Mandar.
Karim bersiap beraksi Foto : Muhammad Ridwan Alimuddin |
Karim bekerja sama dengan Husain, putra Pammarica (Ga’de) yang tinggal tak
jauh dari rumah Karim. Husain umurnya masih muda, hampir seumuran dengan saya,
awal kepala tiga (30 tahun). Kameranya ada dua, yaitu Nikon dan Zenit 122, tapi
Zenit rusak. Beda dengan Zenit analog saya (Zenit TTL), 122 terbuat dari
plastik, jadi ringan.
Bila ada order Husain yang bersamaan dalam satu hari, dia serahkan ke Karim
sebagian. Demikian juga untuk urusan beli rol dan cetak hasil. Bila Karim butuh
rol film, dia ambil dari Husain, nanti bayarnya; kalau ada yang mau dicetak,
negatifnya diserahkan ke Husain. Husain yang urus dengan studio percetakan.
(Bersambung)
*Sumber : http://ridwanmandar.blogspot.com/2011/10/fotografer-tinambung-dewasa-ini-1.html?view=timeslide
0 komentar:
Posting Komentar