Regalia atau benda pusaka yang tersimpan
di Mosso selain gong Taqbilohe adalah dua gendang. Melihat bentuk dan ukuran,
gendang jenis demikian biasa dipakai jika ada acara-acara “maccaq” atau pencak
silat. Gendangnya berbeda bila dipakai untuk mengiringi penari, yang ukurannya
lebih besar.
Gendang sebagai benda pusaka dulu juga
ditemukan di Kerajaan Pamboang. Ada foto tua yang tersimpan di laman Museum
KITLV Belanda yang keterangan fotonya tertulis, “Voorwerpen voor de viering
van de geboorte van het eerste kind van de maharadja van Pambaoeang,
districtshoofd van Mandar, te Madjene,” kira-kira berarti “Benda untuk
perayaan kelahiran anak pertama dari Raja Pamboang, di Mandar Majene.”
Foto yang dikutip Joekes, L V pada tahun
1932 memperlihatkan benda pusaka kerajaan tersebut yaitu satu gong yang
terukir, dua gendang, tombak, panji dan beberapa alat musik kuno. Apakah
benda-benda tersebut masih disimpan oleh pewaris Kerajaan Pamboang?
Kerajaan Bone juga memiliki benda-benda
pusaka gendang. Gendang yang mereka percayai sebagai gendang “manurung” yang
konon turun dari langit oleh Arung Mpone pertama Panre Bessi e Manurung ri
Matajang.
Bila hari pertama ritual “Mappaoli
Banua” di Mosso benda pusaka gong dan gendang hanya diperlihatkan, pada hari
kedua, benda-benda tersebut dimainkan. Gong ditabuh mengiringi tabuhan dua
gendang pusaka. Di depan panggung aksi “maccaq” dilangsungkan.
Usai pencak silat di lokasi ritual,
diadakan ziarah ke makam moyang masyarakat Mosso. Mereka menyebutnya I Laso
Mosso. Masyarakat Mosso mempercayai bahwa I Laso Mosso adalah moyang
Todilaling, raja pertama Kerajaan Balanipa.
Menuju Buttu Tondoq, yang berjarak
kurang dua kilometer dari pusat kampung Mosso, butuh fisik kuat. Menanjak
terus, apalagi ketika akan naik ke atas bukit yang kemiringannya tajam dan
medan yang berbahaya. Setidaknya ada dua orang yang hampir pingsan saat menuju
bukit.
Pemandangan tersendiri melihat
keramaian di atas bukit kecil, yang dikelilingi pemandangan indah. Setiap
keluarga membawa makanan, ada buras, ada ketupat, ayam, telur, sokkol, dan
lain-lain. Laksana lebaran di atas bukit. Atau, seperi acara rekreasi.
Yang menarik dari kegiatan ziarah adalah
itu dilakukan oleh mayoritas penduduk kampung Mosso. Baik yang tinggal di Mosso
maupun yang telah tinggal di daerah lain. Ada dari Makassar, ada dari Palu.
Bukan puluhan peziarah tapi ratusan. Mulai dari anak balita hingga tua renta.
Dan yang paling menarik adalah ziarah kolosal tersebut berlangsung di atas
puncak bukit Buttu Tondoq. Dari sekian makam raja-raja atau “tosalamaq” di
kerajaan-kerajaan Pitu Baqbana Binanga yang pernah saya datangi, sepertinya
lokasi makam I Laso Mosso-lah paling tinggi letaknya dari segi geografis,
hampir 500 meter dari permukaan laut.
Begitu tingginya, di atas puncak Buttu
Tondoq kita bisa melihat ‘ke bawah’ makam Todilaling. Konon, ketika akan wafat,
I Laso Mosso minta dimakamkan di bukit yang mana di situ dia bisa ‘melihat’
keturunannya. Memang pas. Di atas Buttu Tondoq makam raja, seperti I
Manyambungi (Todilaling), Tomepayung (maraqdia kedua Balanipa), dan Maraqdia
Pallis (maraqdia pertama masuk Islam) nampak dengan jelas.
Selain situs makam I Laso Mosso, yang
menggunakan nisan baru (nampak dari warna batu dan ukiran bergaya Islam), juga
ada batu besar yang di situ tampak lafaz tulisan Arab. Letaknya beberapa puluh
meter dari titik makam. Ada lafaz “La ilaha illallah” di batu. Sebab ada
tulisan itu, pemali berdiri atas batu. Setidaknya ada dua batu (berdiameter
lebih satu meter) yang ada tulisan aksara Arab.
Apa yang mereka lakukan adalah ritus
“massamaya”, yaitu berziarah ke makam leluhur atau orang yang dianggap keramat.
“Massamaya” adalah ziarah yang dilakukan beramai-ramai, dilakukan pada
waktu-waktu tertentu. Berbeda dengan ziarah ketika ada nazar (“mattinjaq”),
yang bisa dilakukan kapan saja sejauh nazar sudah terpenuhi. Ziarah ‘biasa’
juga tidak terlalu ramai, beda dengan “massamaya”.
Ritual “massamaya” jamak dilakukan oleh
penduduk Mandar, khususnya yang masih memiliki “ikatan khusus” dengan leluhur
mereka atau orang yang mereka hormati. Ciri khas “massamaya” adalah membawa
makanan ke makam, seperti beberapa jenis pisang, “sokkol”, dan sebagainya.
Selain masyarakat Mosso, kampung lain
yang juga biasa “massamaya” adalah Pallis. Lokasinya di makam Maraqdia Pallis,
yang juga berada di atas bukit, tapi ketinggiannya sekitar 400 meter dpl.
Saat penduduk Mosso berziarah ke makam I
Laso Mosso, di bangunan kayu tempat I Laso Mosso berada dijejer beberapa
“kappar” yang diatasnya beragam makanan dan buah. Di dekat nisan I Laso Mosso
diletakkan gong Taqbi Lohe, dua gendang keramat, dan benda-benda pusaka
lainnya, seperti sarung sutera tua dan sebilah keris kecil.
Setelah semua rapi, diadakan doa bersama
yang dipimpin oleh imam mesjid. Usai berdoa, mereka pun makan. Sebab
ruang makam hanya berukuran sekitar 2 x 8 meter, peziarah yang lain
menggelar tikar dan makanan mereka di luar. Persis orang rekreasi. Mereka riang
gembira, khususnya anak-anak. Mungkin dalam benak mereka, sekarang lagi acara
makan-makan (rekreasi).
Usah makan, penduduk berebutan masuk ke
dalam makam I Laso Mosso. Ada yang mengambil tanahnya (hal yang sama juga
terjadi di makam Tosalamaq Salabose, Majene), ada yang menyiramkan minyak, dan
prosesi-prosesi lain ala peziarah. Juga ditampilkan sedikit gerakan pencak
silat di sekitar makam.
Usai ritual di makam I Laso Mosso dan
makan-makan, penduduk pun turun, kembali ke kampung. Dalam diri mereka ada
“sumangeq” atau semangat baru menjalani hidup.
*sumber : http://ridwanmandar.blogspot.com/2015/01/massamaya-di-makam-i-laso-mosso.html
*sumber : http://ridwanmandar.blogspot.com/2015/01/massamaya-di-makam-i-laso-mosso.html
Apakah kamu sudah tau prediksi mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong
BalasHapus