Selasa, 24 Februari 2015

Massamaya di Makam I Laso Mosso




Regalia atau benda pusaka yang tersimpan di Mosso selain gong Taqbilohe adalah dua gendang. Melihat bentuk dan ukuran, gendang jenis demikian biasa dipakai jika ada acara-acara “maccaq” atau pencak silat. Gendangnya berbeda bila dipakai untuk mengiringi penari, yang ukurannya lebih besar.
Gendang sebagai benda pusaka dulu juga ditemukan di Kerajaan Pamboang. Ada foto tua yang tersimpan di laman Museum KITLV Belanda yang keterangan fotonya tertulis, “Voorwerpen voor de viering van de geboorte van het eerste kind van de maharadja van Pambaoeang, districtshoofd van Mandar, te Madjene,” kira-kira berarti “Benda untuk perayaan kelahiran anak pertama dari Raja Pamboang, di Mandar Majene.”
Foto yang dikutip Joekes, L V pada tahun 1932 memperlihatkan benda pusaka kerajaan tersebut yaitu satu gong yang terukir, dua gendang, tombak, panji dan beberapa alat musik kuno. Apakah benda-benda tersebut masih disimpan oleh pewaris Kerajaan Pamboang?
Kerajaan Bone juga memiliki benda-benda pusaka gendang. Gendang yang mereka percayai sebagai gendang “manurung” yang konon turun dari langit oleh Arung Mpone pertama Panre Bessi e Manurung ri Matajang.
Bila hari pertama ritual “Mappaoli Banua” di Mosso benda pusaka gong dan gendang hanya diperlihatkan, pada hari kedua, benda-benda tersebut dimainkan. Gong ditabuh mengiringi tabuhan dua gendang pusaka. Di depan panggung aksi “maccaq” dilangsungkan.
Usai pencak silat di lokasi ritual, diadakan ziarah ke makam moyang masyarakat Mosso. Mereka menyebutnya I Laso Mosso. Masyarakat Mosso mempercayai bahwa I Laso Mosso adalah moyang Todilaling, raja pertama Kerajaan Balanipa.
Menuju Buttu Tondoq, yang berjarak kurang dua kilometer dari pusat kampung Mosso, butuh fisik kuat. Menanjak terus, apalagi ketika akan naik ke atas bukit yang kemiringannya tajam dan medan yang berbahaya. Setidaknya ada dua orang yang hampir pingsan saat menuju bukit.


Pemandangan tersendiri  melihat keramaian di atas bukit kecil, yang dikelilingi pemandangan indah. Setiap keluarga membawa makanan, ada buras, ada ketupat, ayam, telur, sokkol, dan lain-lain. Laksana lebaran di atas bukit. Atau, seperi acara rekreasi.
Yang menarik dari kegiatan ziarah adalah itu dilakukan oleh mayoritas penduduk kampung Mosso. Baik yang tinggal di Mosso maupun yang telah tinggal di daerah lain. Ada dari Makassar, ada dari Palu. Bukan puluhan peziarah tapi ratusan. Mulai dari anak balita hingga tua renta. Dan yang paling menarik adalah ziarah kolosal tersebut berlangsung di atas puncak bukit Buttu Tondoq. Dari sekian makam raja-raja atau “tosalamaq” di kerajaan-kerajaan Pitu Baqbana Binanga yang pernah saya datangi, sepertinya lokasi makam I Laso Mosso-lah paling tinggi letaknya dari segi geografis, hampir 500 meter dari permukaan laut.
Begitu tingginya, di atas puncak Buttu Tondoq kita bisa melihat ‘ke bawah’ makam Todilaling. Konon, ketika akan wafat, I Laso Mosso minta dimakamkan di bukit yang mana di situ dia bisa ‘melihat’ keturunannya. Memang pas. Di atas Buttu Tondoq makam raja, seperti I Manyambungi (Todilaling), Tomepayung (maraqdia kedua Balanipa), dan Maraqdia Pallis (maraqdia pertama masuk Islam) nampak dengan jelas.
Selain situs makam I Laso Mosso, yang menggunakan nisan baru (nampak dari warna batu dan ukiran bergaya Islam), juga ada batu besar yang di situ tampak lafaz tulisan Arab. Letaknya beberapa puluh meter dari titik makam. Ada lafaz “La ilaha illallah” di batu. Sebab ada tulisan itu, pemali berdiri atas batu. Setidaknya ada dua batu (berdiameter lebih satu meter) yang ada tulisan aksara Arab.

Apa yang mereka lakukan adalah ritus “massamaya”, yaitu berziarah ke makam leluhur atau orang yang dianggap keramat. “Massamaya” adalah ziarah yang dilakukan beramai-ramai, dilakukan pada waktu-waktu tertentu. Berbeda dengan ziarah ketika ada nazar (“mattinjaq”), yang bisa dilakukan kapan saja sejauh nazar sudah terpenuhi. Ziarah ‘biasa’ juga tidak terlalu ramai, beda dengan “massamaya”.
Ritual “massamaya” jamak dilakukan oleh penduduk Mandar, khususnya yang masih memiliki “ikatan khusus” dengan leluhur mereka atau orang yang mereka hormati. Ciri khas “massamaya” adalah membawa makanan ke makam, seperti beberapa jenis pisang, “sokkol”, dan sebagainya.
Selain masyarakat Mosso, kampung lain yang juga biasa “massamaya” adalah Pallis. Lokasinya di makam Maraqdia Pallis, yang juga berada di atas bukit, tapi ketinggiannya sekitar 400 meter dpl.

Saat penduduk Mosso berziarah ke makam I Laso Mosso, di bangunan kayu tempat I Laso Mosso berada dijejer beberapa “kappar” yang diatasnya beragam makanan dan buah. Di dekat nisan I Laso Mosso diletakkan gong Taqbi Lohe, dua gendang keramat, dan benda-benda pusaka lainnya, seperti sarung sutera tua dan sebilah keris kecil.
Setelah semua rapi, diadakan doa bersama yang dipimpin oleh imam mesjid. Usai berdoa, mereka pun makan. Sebab ruang  makam hanya berukuran sekitar 2 x 8 meter, peziarah yang lain menggelar tikar dan makanan mereka di luar. Persis orang rekreasi. Mereka riang gembira, khususnya anak-anak. Mungkin dalam benak mereka, sekarang lagi acara makan-makan (rekreasi).
Usah makan, penduduk berebutan masuk ke dalam makam I Laso Mosso. Ada yang mengambil tanahnya (hal yang sama juga terjadi di makam Tosalamaq Salabose, Majene), ada yang menyiramkan minyak, dan prosesi-prosesi lain ala peziarah. Juga ditampilkan sedikit gerakan pencak silat di sekitar makam.

Usai ritual di makam I Laso Mosso dan makan-makan, penduduk pun turun, kembali ke kampung. Dalam diri mereka ada “sumangeq” atau semangat baru menjalani hidup.

*sumber : http://ridwanmandar.blogspot.com/2015/01/massamaya-di-makam-i-laso-mosso.html

1 komentar:

  1. Apakah kamu sudah tau prediksi mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong

    BalasHapus