Mengenal Perahu Tercepat Sedunia: Sandeq!

*** Sandeq adalah Mandar, karena sandeq lahir dari suku Mandar. Sebelumnya, perahu mereka bernama Pakur, yakni jenis perahu bercadik masih kasar bentuknya dan lebih lebar. Pakur kemudian berevolusi, menjadi sandeq.

Saqbe Mandar

Mempertanyakan Defenisi “Saqbe Mandar” (01): Sutra Palsu dan Sutra Abal-abal

Saeyyang Pattuqduq Mandar

Penyelenggaraan tradisi saeyyang pattuqduq bagi orang Mandar lebih merupakan apresiasi positif masyarakat dalam hal ini orang tua anak yang telah khatam bacaan Qurannya.

Fotografer Mandar

Setahu saya, masyarakat umum terdidik (baca: yang pernah menempuh pendidikan sampai universitas) Tinambung yang memiliki minat terhadap fotografi (bukan sebagai pekerjaan, tapi sebagai hobby) era 90-an hanya ada dua, yaitu Asmadi Alimuddin dan Syariat Tadjuddin

Baharuddin Lopa

Baharuddin Lopa Sang Pendekar Hukum Dari Tanah Mandar

Festival Sungai Mandar 2015

"Dengan Sungai Aku Mencintaimu"

Suku Mandar Dalam Wikipedia

"Suku Mandar adalah kelompok etnik di Nusantara, tersebar di seluruh pulau Sulawesi , yaitu Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan,Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara, juga tersebar di beberapa provinsi di luar sulawesi seperti Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Jawa dan Sumatera bahkan sampai ke Malaysia."

Abrasi Pantai "Assapambusuangan" di Desa Sabang Subik

"Kontroversi Penanggulangan Abrasi Pantai "Assapambusuangan" di Desa Sabang Subik."

Kamis, 26 Februari 2015

Ammana Wewang : “Si Jelek”, Intrik, dan Perlawanan ke Belanda


Ammana Wewang

Dulu, di Mandar (Sulawesi Barat sekarang ini), para pemimpin (bangsawan) banyak yang diberi gelar berdasarkan cacat atau kejelekannya. Ada “Tomilloliq” (yang berbaring), sebab dia pemadat (candu). Banyak baring menghisap dari bong besarnya. Nama aslinya Mandawari, moyang Baharuddin Lopa. Lalu, calon pahlawan nasional dari Mandar diberi nama Andi Depu. Depu turunan kata “arepus” alias “wajah yang tidak cantik”.
Ada juga pejuang Mandar yang diasingkan ke Pacitan, Jawa Timur, kampung SBY, diberinama I Tokape. “Kape” berarti “tangannya lumpuh”. Nah, dalam tulisan ini akan saya sadur kisah perjuangan pahlawan terlupakan ini. Banyak yang tidak kenal, khususnya generasi muda Mandar, Sulawesi Barat.

***

Dulu, di Mandar, intrik-intrik di kalangan pemimpin yang masih terhitung kerabat dekat juga sering terjadi. Bukan hanya belakangan ini. Misalnya beberapa waktu lalu, pilkada di salah satu kabupaten di Sulawesi Barat, dua calon bupati masih terhitung saudara kandung. Di “perebutan” kepemimpinan adat juga demikian. Mereka masih terhitung kerabat dekat. Jadi, bukan hal aneh memang.
Tokape adalah maraqdia (raja) Balanipa (salah satu kerajaan besar di wilayah Mandar atau Sulawesi Barat) pada akhir tahun 1800-san. Ada versi yang menuliskan dia raja ke 46, ada juga ke-48. Ada perbedaan sebab ada perbedaan kesepakatan bahwa apakah maraqdia kesekian diakui atau tidak.

***

Pada tahun 1819 salah satu pusat perdagangan dunia mulai mapan, yakni Singapura (sebelumnya disebut Tumasik, sehingga orang Mandar yang berlayar ke sana untuk berdagang disebut “Pattumasek”). Pada masa itu dan setelahnya, salah satu komoditas perdagangan dunia yang juga banyak terdapat di Mandar marak diperdagangkan, yakni kopra (boka’ dalam bahasa Mandar). Dengan kata lain, Mandar terlibat dalam perdagangan internasional. Sebab pada tahun 1850, perdagangan antara orang pribumi dengan orang Eropa mulai marak.

Menurut catatan Belanda, pada tahun 1860, jumlah pohon kelapa di Sulawesi Selatan sekitar 407.279 pohon (Mandar 16.502 pohon). Dan berkembang pesat pada 1875, di saat pohon kelapa mencapai 755.500 pohon.
Perdagangan dunia semakin marak semenjak dibukanya Terusan Suez di Mesir pada tahun 1869. Kemudian booming perdagangan kopi pada tahun 1870. Pada tahun yang sama, para mara’dia di Mandar mengadakan perjanjian politik dengan Hindia-Belanda yang secara signifikan mempengaruhi kekuatan kepemimpinan di Mandar (menjadi melemahkan). Waktu itu, pihak Belanda membeli kopra dari pekebun Mandar dengan harga yang sangat rendah dan hanya orang Belanda-lah (VOC) yang boleh membeli kopra. Di pihak lain, para pedagang (umumnya dari kalangan bangsawan sendiri) mengetahui harga kopra sangat tinggi di Tumasik (Singapura).
Jadi, pedagang pribumi mengharapkan harga yang layak. Permintaan ini tak digubris Belanda. Maka terjadilah perlawanan. Paling terkenal oleh perlawanan Maraqdia Tokape.

***

Sebelum I Boroa (gelaran lain bagi Tokape, yang artinya Si Nakal, sebab dia tidak tunduk pada Belanda), sepupu sekalinya yang bernama Mandawari alias Tomilloli memangku maraqdia. Di masa itu, Belanda bebas keluar masuk Mandar dengan berkedok sebagai pedagang. I Mandawari gembira bila Belanda datang, sebab selalu mendapat paket candu.
Karena kegemarannya itu, urusan masyarakat terabaikan. Hadat Appe’ Banua Kayyang pun seapakat untuk meninjau kedudukannya sebagai maraqdia. Akhirnya disepakati untuk mengangkat Tokape menggantikannya.
Masa kepemimpinan Tokape, situasi politik terhadap Belanda di Balanipa berubah total. Tokape pun menjadikan dirinya sebagai pemimpin yang merakyat dan sering melakukan perjalanan ke daerah-daerah. Bila bertemu orang yang duduk-duduk saja, tak segan dia menegurnya dan meminta mereka untuk bekerja.
Tokape mengeluarkan kebijakan untuk tidak menjual kopra hasil rakyat Mandar ke Belanda, melainkan menjualnya langsung ke Makassar, Surabaya, dan Singapura. Tentu kebijakan demikian mengandung resiko sebab menentang Belanda. Maka dia bekerja sama dengan Ammana I Wewang, Maraqdia Alu yang sekaligus sebagai Maraqdia Malolo atau panglima di Kerajaan Balanipa memperkuat pertahanan.

Lama kelamaan, gudang kopra Belanda kekurangan stok kopra. Belanda melakukan operasi pasar langsung ke masayarakat untuk membeli kopra. Tapi hal itu ditentang Tokape. Rakyat harus dibebaskan untuk memilih pembeli kopranya, jangan dipaksa. Demikian kehendak Tokape.
Berbagai cara dilakukan Belanda agar Tokape berubah pendirian. Namun tak berhasil. Belanda kemudian melakukan trik adu domba. Dia membujuk Mandawari untuk bisa bekerjasama. Ada rumor, jika Mandawari berhasil, dia akan dijadikan kembali sebagai maraqdia. Mandawari tergoda. Dia pun mengiyakan untuk melemahkan dan menghancurkan kedudukan Tokape.
Salah satu bentuk dukungan Mandawari terhadap Belanda, yang juga menjadi strategi perlawanan terhadap Tokape adalah pendirian loji (benteng) di dekat rumah Mandawari. Di loji tersebutlah Belanda memperkuat pertahanan.
Setelah dirasa kuat pertahanannya, Belanda mengajukan perundingan dengan Tokape. Permintaan Belanda disetujui oleh Tokape dengan syarat: kedua belah pihak dilarang bersenjata memasuki daerah perundingan, pengawal kedua belah pihak harus berada di pos masing-masing, tempat pertemuan disetujui kedua belah pihak. Utusan perundingan Tokape yang hadir adalah Ammana I Wewang, Ammana I Pattolawali, Ajuara, Sumakuyu, dan Parrimuku.

Dalam pertemuan itu, Belanda seolah-olah mau memaksakan keinginannya. Tokape dipaksa untuk menandatangani naskah perjanjian yang telah disiapkan oleh Belanda. Akibatnya, Tokape merobek-robek naskah tersebut di hadapan Belanda.
Ammawa I Wewang menyadari situasi perundingan yang memanas. Tiba-tiba dia berdiri menyentakkan kakinya di tanah seraya berkata “Tuan-tuan Belanda ini seperti tidak tahu aturan. Rupanya tuan-tuan ini kurang ajar di negeri kami. Tuan-tuan orang kulit putih, tidak berhak mengatur kami. Negeri ini adalah negeri orang Mandar. Tuan-tuan adalah tamu kami untuk datang berdagang. Kalau mau berkuasa di mandar ini kami tidak terima. Lebih baik tuan-tuan cepat meninggalkan ruangan sebelum saya marah. Ayo pulang cepat dan kalau tidak saya bunuh tuan-tuan di tempat ini.”
Marah Ammana I Wewang menciutkan nyali Belanda. Mereka pun cepat-cepat meninggalkan tempat perundingan.

Ammana I Wewang atau I Caloq Ammana I Wewang adalah pejuang melawan Belanda di awal abad ke-20. Dalam perlawanannya tertangkap dan diasingkan ke pulau Belitung, lebih tiga puluh tahun lamanya. Lahir di Kampung Lutang (sekarang di dalam wilayah Kel. Tande, Kec. Banggae, Kab. Majene), 1854. Buah perkawinan I Gaqang- I Kena.
I Gaqang, Marqdia ‘Raja’ Alu, I Kena adalah putri Maraqdia Banggae. Neneknya dari pihak bapaknya bernama Maqdusila alias Lippo Ulang, Maraqdia Pamboang, dan neneknya dari pihak ibu ialah To Cabang Maraqdia Pamboang. Sebelum memperoleh keturunan dari permaisuri, dipopulerkan dengan panggilan Ammana I Wewang. (I Wewang, nama seorang kemanakan permaisurinya. Pengenakan gelar/panggilan seperti itu, sudah menjadi tradisi bagi keturunan bangsawan Mandar. Tidak sopan atau tidak hormat jika masih menyebut nama pribadi (nama kecil) kepada seseorang bangsawan setelah berkeluarga).
Dia mempunyai tiga saudara yaitu, Kacoq Puang Ammana I Pattolawali, Cacaqna Pattolawali, dan Cacaqna I Sumakuyu. Pada usia ke-30 dinobatkan menjadi Maraqdia Malolo Kerajaan Balanipa menggantikan I Tamanganro. (Yang memangku jabatan Maraqdia Balanipa waktu itu ialah Tokape). 1886 ia dilantik menjadi Maraqdia Alu, dan tetap sebagai Maraqdia Malolo Balanipa.
***
Pemberontakan Tokape terjadi pada 1872-1873, hanya 1 tahun. Sangat singkat bila dibandingkan Perang Diponegoro atau Perang Makassar.
Tokape diangkat menjadi maraqdia pada tahun 1872. Dia diangkat oleh “Appeq Banua Kayyang” (Napo, Samasundu, Mosso dan Todang-todang) menjadi Arayang Balanipa menggantikan I Mandawari. Sebagai pemimpin baru, oleh Belanda ingin memperbaharui kontrak dengannya. Tapi isinya memberatkan rakyat Mandar.
Bersama maraqdia lain dari anggota Ba’bana Binanga, disepakati untuk menyepakati kontrak yang diajukan oleh Belanda. Tapi bentuk penolakan berbeda, menentang dengan senjata oleh Balanipa, Banggae, Pamboang dan Binuang; dengan diplomasi oleh Sendana, Tappalang, dan Mamuju.

Perlawanan oleh Kerajaan Balanipa dipimpin oleh Tokape dan Calo Ammana I Wewang. Perlawanan mereka tidak mampu dibendung oleh Belanda. Maka mereka meminta bala bantuan dari Makassar. Malangnya, bantuan dari Makassar diserang oleh sekutu Balanipa dari Kerajaan Labakkang yang dipimpin oleh Andi Marudani Karaeng Bonto-bonto.
Karaeng Bonto-bonto berjibaku dengan Tokape melawan Belanda. Bersama pasukannya mereka bergerilya di hutan Balanipa dan Tomadio. Lama kelamaan, pasukan gabungan ini melemah.

Belakangan, Tokape terkepung di istananya di Lekopa’dis (Tinambung) untuk kemudian ditangkap Belanda. Ada versi mengatakan menyerahkan diri untuk melindungi pasukan dan sekutunya. Kemudian dia dilayarkan ke Makassar pada 4 November 1893. Hampir dua bulan ditahan di Makassar untuk selanjutnya dibawa ke Batavia untuk diadili. Keputusannya, dia diasingkan ke Jawa Timur, di Pacitan.
Kedudukan Tokape digantikan (kembali) oleh Mandawari (menjadi maraqdia pada periode I: 1870-1872). Setelah menjabat selama 7 tahun (1874-1880), Mandawari digantikan oleh sepupu satu kalinya, I Sanggaria. Belakangan, karena bertentangan dengan hadat, I Sanggaria meletakkan jabatan sebagai maraqdia pada 1885. Untuk ketiga kalinya, I Mandawari kembali menjadi Maraqdia Balanipa (ke-49, 1885-1907).
Pelantikan I Mandawari diperdebatkan, sebab dia tidak dilantik oleh kaum hadat secara lengkap, tapi hanya beberapa. Itu pun terjadi di Makassar, oleh Belanda. Dia tidak dilantik di Mandar sebab banyak yang tidak setuju. Tapi karena I Mandawari pendukung Belanda, maka dia mempunyai posisi kuat.

Tertangkapnya Tokape membuat perlawanan Ammana Wewang menggunakan sistem gerilya. Sebab susah ditangkap, Belanda minta dukungan Mandawari dan I Laju Kanna Doro (juga kerabat dekat Tokape; belakangan akan menggantikan Mandawari menjadi maraqdia) untuk memberikan informasi keberadaan Ammawa Wewang.
I Laju Kanna Doro mencari tahu siapa orang dekat Ammana Wewang. Akhirnya dia mendapat informasi bahwa tokoh masyarakat Tandassura bernama Ka’tabbas mengetahui siapa tukang pijat Ammana Wewang. Namanya Ka’sawa dan Ka’mana.
Kepada Ka’tabbas dijanjikan kedudukan dan terhadapa tukang pijat akan diberia hadiah 1000 ringgit. Akhirnya si tukang pijit memberitahukan tempat persembunyian Ammana Wewang.

Saat Ammana Wewang istirahat (tidur), si tukang pijit menghubungi prajurit Belanda. Rombongan serdadu membawa serta beberapa bambu dan seutas tali ijuk. Sebab Ammana Wewang dikenal kebal, digunakan cara tersendiri untuk menangkapnya: tubuh dihimpit dengan bambu lalu diikat. Dengan tubuh yang terikat, Ammana Wewang dibawa ke Majene. Kejadian ini terjadi pada 23 Juli 1907.

Sebulan ditahan lalu diadili di Campalagian. Dia divonis 20 tahun penjara. Tanggal 24 Agustus 1907, Ammana I Wewang kembali disidangkan untuk selanjutnya ditahan di Benteng Rotterdam, Makassar. Setengah bulan ditahan lalu dikirim ke Batavia. Lalu pada akhir 1907, Ammana I Wewang bersama 9 pengikutnya diasingkan di Pulau Belitung, Sumatera Selatan.
Ammana I Wewang hampir 40 tahun berada di Pulau Belitung. Pada 1 April 1945, dengan menggunakan perahu lete dari Mandar, Ammana I Wewang meninggalkan Pulau Belitung. Dia tiba di Ba’babulo, Pamboang pada 22 Mei 1945. Ammana I Wewang wafat di Limboro, pada 11 April 1967.

***

Pada tahun 1907, sebab merasa sudah tua dan intrik di kalangan bangsawan, I Mandawari meletakkan jabatan untuk kemudian digantikan oleh I Laju Kanna Doro Tomatindo di Jeddah (sebab mangkat di Jeddah, Arab Saudi). Kedudukan I Laju Kanna Doro digantikan Andi Baso, cucu Tokape. Kemudian Andi Baso digantikan istrinya yang juga putri I Laju Kanna Doro, yaitu Andi Depu, penerima Bintang Mahaputera dari Presiden Soekarno dan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.
Referensi:
  • Andi Syaiful Sinrang. 1994. Mengenal Mandar Sekilas Lintas. Yayasan Kebudayaan Mandar Rewata Rio. Ujungpandang

  • A.M. Sarbin Sjam. 1997. Bunga Rampai Kebudayaan Mandar dari Balanipa. Limboro

  • M. T. Azis Syah. 1981. Biografi I Calo Ammana I Wewang Topole di Balitung Pahlawan Daerah Mandar Sulawesi Selatan. Pemda Tingkat I Prop. Sulawesi Selatan

  • Suradi Yasil dan Muhammad Ridwan Alimuddin. 2011. Ensiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Mandar. Edisi III. Forum Dokumentasi Sejarah dan Kebudayaan Mandar

Link sumber : http://sejarah.kompasiana.com/2011/04/28/%E2%80%9Csi-jelek%E2%80%9D-intrik-dan-perlawanan-ke-belanda-358865.html

Rabu, 25 Februari 2015

Aplikasi 'DPR KITA' untuk Menata Demokrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Waki ketua komisi VIII DPR dari Fraksi PKS, Ledia Hanafi mengatakan, aplikasi 'DPR Kita' menjadi kesempatan besar yang dimiliki DPR untuk terus meningkatkan kinerjanya.


Bahkan, ia menilai, hadirnya aplikasi 'DPR KITA' menjadi terobosan besar dalam pengembangan demokrasi di Indonesia. Selain itu juga harus terus disosialisasikan terutama kepada para anggota DPR.

"Jadi ini menjadi kesempatan besar untuk mengedukasi masyarakat dan tidak hanya itu dapat juga memberi edukasi kepada anggota dewan itu sendiri terkait penyerapan aspirasi masyarakat," ujar Leida, di Jakarta, Selasa (24/2).

Tidak hanya itu, aplikasi ini dapat menjadi bentuk lain sumbangsih atas penataan demokratisasi di Indonesia. Bahkan secara khusus, Ledia juga menyebut, aplikasi ini bisa menjadi sarana klarifikasi untuk para anggota DPR terutama terkait adanya pemberitaan-pemberitaan yang kurang tepat soal kinerja DPR.

Namun, Leida berharap, aplikasi ini bisa tersambung dengan akun-akun media sosial, seperti twitter dan facebook, yang sudah lebih dahulu dimiliki oleh anggota DPR.
Selain itu, aplikasi ini bisa dikembangkan tidak hanya di smartphone. Hal ini terkait dengan jangkauan yang luas kepada para konstituen yang berada di daerah. "Jadi tidak hanya di wilayah perkotaan, bagaimana dengan yang ada di pelosok daerah-daerah," ujar Ledia.

*sumber : http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/15/02/24/nka7i0-aplikasi-dpr-kita-untuk-menata-demokrasi

Festival Sungai Mandar Kembali Dihelat

Setelah berhasilnya Festival Sungai Mandar pada tahun 2015, kini Uwake Culture Foundation bekerja sama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Polewali Mandar kembali menghelat Festival Sungai Mandar ke-2 yang insha allah akan dihelat pada tanggal 11-14 Maret 2015. Kabar yang menggembirakan adalah kegiatan ini akan menjadi agenda tahunan bagi dinas terkait dengan komunitas uwake culture foundation yang dimana ditetapkan setiap bulan maret. Kegiatan ini bersinergi dengan beberapa komunitas-komunitas pemuda yang bergerak di bidang film, seni serta budaya serta didukung langsung oleh dinas Pariwisata dan Kebudayaan Polewali Mandar.


Bertemakan “Dengan Sungai Aku Mencintaimu”, secara filosofis ingin menyampaikan sebuah harapan bahwa laut dan hutan lewat sungai sebagai penghubungnya itu bisa saling menjaga keharmonisannya. Tapi tentu ini tidak luput dari campur tangan manusia bagaimana menjaga sungai tersebut agar tetap menyatu dan tidak merusak. Berbagai kegiatan bernuansa budaya lokal, pertunjukan seni, serta kunjungan wisata dijadwalkan dihelat pada kegiatan ini.  Pertunjukan seni akan dipusatkan di sekitar jembatan Tinambung di Kelurahan Tinambung Kec. Tinambung Kabupaten Polewali Mandar Provinsi Sulawesi Barat. 
Berikut beberapa rancangan kegiatan festival Sungai Mandar yang dirilis oleh pihak pelaksana kegiatan ini yang dikutif melalui blog resmi panitia (http://festivalsungaimandar.blogspot.com)
1. Workshop
2. Pameran
3. Pertunjukan
4. Lomba
5. Wisata sejarah dan edukasi
6. Wisata tirta dan alam sungai Mandar
7. Bazaart (wisata kuliner dan cinderamata)
8. Sarasehan/Diskusi
9. Pemutaran film dokumenter
Pra event :
– Perkemahan semalam di Alu ( tempat pembuatan dan peluncuran rakit bambu)
– Workshop
– Lomba cerpen, kerajinan daur ulang sampah, photografi, penulisan cerpen, melukis, film pendek.
1. Workshop :
a. workshop mengelola sampah basah dan kering (daur jadi pupuk dan kerajinan
2. Pameran :
a. Pameran lukisan & photografi
b. Pameran instalasi
3. Pertunjukan :
a. Pertunjukan Seni Tradisional Mandar :
1. Musik passayang-sayang
2. Musik parrawana (tommuane dan tobaine)
3. Musik pakkacaping (tommuane dan tobaine)
4. Musk pakkeke dan paccalong
5. Tari pattuqduq (tobaine)
6. Tari pallake
7. Pencak silat/pakkottau
b. Pertunjukan Modern, Pop dan Kontemporer :
1. Musik bertema sungai – lingkungan
2. Musik Pop Mandar
3. Sastra (puisi, cerpen, monolog)
4. Teater
5. Tari kreasi, modern dan kontemporer
6. Performance art
4. Lomba :
a. Lomba lepa-lepa
b. Lomba berenang
c. Lomba menggambar dan melukis
d. Lomba kerajinan dari sampah
e. Lomba fhotografi
f. Lomba penulisan cerpen
g. Lomba film pendek/dokumenter
5. Wisata sejarah dan edukasi :
a. Situs Todilaling dan Tomepayung/bala tau, Napo/Tammajarra
b. Perpustakaan Mandar, Majene
c. Sentra tenun sarung sutra Mandar, Karama (transfortasi bendi)
6. Wisata tirta dan alam sungai Mandar :
a. Merakit bambu susuri sungai Mandar dari Alu – Tinambung
b. Naik lepa-lepa dan katingting susuri pinggir sungai Mandar wilayah Tinambung –
Lekopadis (tempat ambil uwai sau/air minum)
c. Memancing dipinggir tanggul sungai Mandar
7. Bazaart (wisata kuliner dan cinderamata)
a. Diarea panggung satu (ex.pasar Tinambung) tersedia stand souvenir/cinderamata
Khas Sulawesi Barat.
b. Diarea panggung dua (pinggir tanggul sungai Mandar dan ex.pasar ikan) tersedia stand kuliner makanan khas Mandar dan tersedia stand bazaar batu pemrmata Mandar.
c. Bazar batu permata Mandar
8. Sarasehan/Diskusi :
a. Diskusi sungai dan lingkungan
b. Diskusi seni, budaya dan pariwisata
9. Pemutaran film dokumenter dan lingkungan

Selasa, 24 Februari 2015

Baharuddin Lopa dan Perjalanannya

Ketika menjabat Jaksa Tinggi Makassar, ia memburu seorang koruptor kakap, akibatnya ia masuk kotak, hanya menjadi penasihat
Menteri. Ia pernah memburu kasus mantan 
Presiden Soeharto dengan mendatangi teman-temannya di Kejaksaan Agung, di saat ia menjabat Sekretaris Jenderal Komnas HAM. Lopa menanyakan kemajuan proses perkara 
Pak Harto. Memang akhirnya kasus 
Pak Harto diajukan ke pengadilan, meskipun hakim gagal mengadilinya karena kendala kesehatan.

Baharuddin Lopa

Lopa dan Bismar Siregar merupakan contoh yang langka dari figur yang berani melawan arus. Sayang Lopa sudah tiada dan Bismar sudah pensiun. Tetapi mereka telah meninggalkan warisan yang mulia kepada rekan-rekannya. Tentu untuk diteladani.

Baharudin Lopa meninggal dunia pada usia 66 tahun, di rumah sakit Al-Hamadi Riyadh, pukul 18.14 waktu setempat atau pukul 22.14 WIB 3 Juli 2001, di Arab Saudi, akibat gangguan pada jantungnya.

Lopa, mantan Dubes RI untuk Saudi, dirawat di ruang khusus rumah sakit swasta di Riyadh itu sejak tanggal 30 Juni. Menurut Atase Penerangan Kedubes Indonesia untuk Arab Saudi, Joko Santoso, Lopa terlalu lelah, karena sejak tiba di Riyadh tidak cukup istirahat.

Lopa tiba di Riyadh, 26 Juni untuk serah terima jabatan dengan Wakil Kepala Perwakilan RI Kemas Fachruddin SH, 27 Juni. Kemas menjabat Kuasa Usaha Sementara Kedubes RI untuk Saudi yang berkedudukan di Riyadh. Lopa sempat menyampaikan sambutan perpisahan.

Tanggal 28 Juni, Lopa dan istri serta sejumlah pejabat Kedubes melaksanakan ibadah umrah dari Riyadh ke Mekkah lewat jalan darat selama delapan jam.

Lopa dan rombongan melaksanakan ibadah umrah malam hari, setelah shalat Isya. Tanggal 29 Juni melaksanakan shalat subuh di Masjidil Haram. Malamnya, Lopa dan rombongan kembali ke Riyadh, juga jalan darat.

Ternyata ketahanan tubuh Lopa terganggu setelah melaksanakan kegiatan fisik tanpa henti tersebut. Tanggal 30 Juni pagi, Lopa mual-mual, siang harinya (pukul 13.00 waktu setempat) dilarikan ke RS Al-Hamadi.

Presiden KH Abdurahman Wahid, sebelum mengangkat Jaksa Agung definitif, menunjuk Soeparman sebagai pelaksana tugas-tugas Lopa ketika sedang menjalani perawatan. Penunjukan Soeparman didasarkan atas rekomendasi yang disampaikan Lopa kepada Presiden. Padahal Lopa sedang giat-giatnya mengusut berbagai kasus korupsi.

Sejak menjabat Jaksa Agung, Lopa memburu Sjamsul Nursalim yang sedang dirawat di Jepang dan Prajogo Pangestu yang dirawat di Singapura agar segera pulang ke Jakarta. Lopa juga memutuskan untuk mencekal Marimutu Sinivasan. Namun ketiga konglomerat ?hitam? tersebut mendapat penangguhan proses pemeriksaan langsung dari Wahid, alias
Gus Dur.

Lopa juga menyidik keterlibatan 
Arifin Panigoro, 
Akbar Tandjung, dan Nurdin Halid dalam kasus korupsi. Gebrakan Lopa itu sempat dinilai bernuansa politik oleh berbagai kalangan, namun Lopa tidak mundur. Lopa bertekad melanjutkan penyidikan, kecuali ia tidak lagi menjabat Jaksa Agung.

Sejak menjabat Jaksa Agung, 6 Juni 2001, menggantikan Marzuki Darusman, Lopa bekerja keras untuk memberantas korupsi. Ia bersama staf ahlinya Dr Andi Hamzah dan Prof Dr Achmad Ali serta staf lainnya, bekerja hingga pukul 23.00 setiap hari.

Penghormatan terakhir
Jenazah Lopa disemayamkan di Kejaksaan Agung untuk menerima penghormatan terakhir. Soeparman yang mengenal Lopa sejak lama, menilai seniornya sebagai seorang yang konsisten dalam penegakan hukum, sangat antikorupsi, sederhana, dan selalu berusaha agar orang-orang yang berada di sekitarnya bersih.

Meski menjabat Jaksa Agung hanya 1,5 bulan, Lopa berhasil menggerakkan Kejaksaan Agung untuk menuntaskan perkara-perkara korupsi. Karena itu jajaran kejaksaan merasa sangat kehilangan.

Ajudan Lopa, Enang Supriyadi Samsi kaget ketika mendengar kabar kepergian Lopa, karena ia tahu Lopa jarang sakit, apalagi sakit jantung. Kalaupun dirawat di rumah sakit lantaran kelelahan, soalnya ia pekerja keras.

Kalimat kunci dari Lopa yang tidak pernah dilupakan Enang, ?kendatipun kapal akan karam, tegakkan hukum dan keadilan.?

Soeparman dipanggil Presiden 
Gus Dur ke Istana Negara, Senin, menunjuknya sebagai pelaksana tugas Jaksa Agung. Tidak ada arahan khusus dari Presiden. ?Laksanakan tugas, lanjutkan apa yang sudah dan akan dilakukan Pak Lopa?. Hanya itu pesan 
Gus Dur. Soeparman adalah Doktor Ilmu Hukum Pidana Perpajakan, UI.

Saat itu Lopa masih dirawat, belum meninggal dunia. Dengan demikian Keppres penunjukan Soeparman mengundang tanda tanya publik. Memang Wakil Jaksa Agung otomatis mengambil alih tugas-tugas atasannya bilamana yang bersangkutan berhalangan.

Keppres serupa pernah dikeluarkan 
Pak Harto ketika mengangkat 
Singgih sebagai pelaksana tugas-tugas Jaksa Agung Sukarton yang meninggal dunia.

Warisan Lopa
Kepergian Lopa sangat mengejutkan, meninggal ketika ia menjadi tumpuan harapan rakyat yang menuntut dan mendambakan keadilan. Sejak menjabat Jaksa Agung (hanya 1,5 bulan), Lopa mencatat deretan panjang konglomerat dan pejabat yang diduga
terlibat KKN, untuk diseret ke pengadilan.

Ketika menjabat 
Menteri Kehakiman dan HAM, ia menjebloskan raja hutan Bob Hasan ke Nusakambangan. Ktegasan dan keberaniannya jadi momok bagi para koruptor kakap.

Menurut Andi Hamzah, sebelum bertolak ke Arab Saudi, Lopa masih meninggalkan beberapa tugas berat. Kepergian Lopa untuk selamanya, memang membawa dampak serius bagi kelanjutan penanganan kasus-kasus korupsi.

Banyak perkara yang sedang digarap tidak jelas lagi ujung pangkalnya. Banyak masih dalam tahap pengumpulan bukti, sudah ada yang selesai surat dakwaan atau sudah siap dikirim ke pengadilan. Banyak perkara yang tertahan di lapis kedua dan ketiga.

Akbar sendiri, meski termasuk tokoh politik yang diburu Lopa, mendukung langkah penegakan hukum yang diprakarsai Lopa. ?Kita merasa kehilangan atasas kepergian Lopa.?

Pengacara yang membela banyak kasus korupsi, Mohammad Assegaf, menyayangkan Lopa melangkah pada waktu yang salah.
He?s the right man in the wrong time. Karena itu ia kehilangan peluang untuk melakukan pembenahan.

Pengamat hukum JE Sahetapy menginginkan kelanjutan pengungkapan kasus-kasus korupsi, meski Lopa sudah tiada. Kata Sahetapy, the show must go on.

Lopa sendiri sudah punya firasat, tugasnya selaku Jaksa Agung takkan lama. Banyak orang mengaitkannya dengan masa jabatan Gus Dur yang singkat. Tetapi masa bhakti Lopa jauh lebih singkat.

Ia sudah merasa bahwa langkah yang dimulainya akan memberatkan penerusnya.

Anak Dusun
Barlop, demikian pendekar hukum itu biasa dipanggil, lahir di rumah panggung berukuran kurang lebih 9 x 11 meter, di Dusun Pambusuang, 
Sulawesi Selatan, 27 Agustus 1935. Rumah itu sampai sekarang masih kelihatan sederhana untuk ukuran keluarga seorang mantan 
Menteri Kehakiman dan HAM dan Jaksa Agung. Ibunda pria perokok berat ini bernama Samarinah. Di rumah yang sama juga lahir seorang bekas menteri, Basri Hasanuddin. Lopa dan Basri punya hubungan darah sepupu satu.

Keluarga dekatnya, H. Islam Andada, menggambarkan Lopa sebagai pendekar yang berani menanggung risiko, sekali melangkah pantang mundur. Ia akan mewujudkan apa yang sudah diucapkannya. Memang ada kecemasan dari pihak keluarga atas keselamatan jiwa Lopa begitu ia duduk di kursi Jaksa Agung. Ia patuh pada hukum, bukan pada politik.

Lopa menerima anugerah Government Watch Award (Gowa Award) atas pengabdiannya memberantas korupsi di Indonesia selama hidupnya. Simboliasi penganugeragan penghargaan itu ditandai dengan Deklarasi Hari Anti Korupsi yang diambil dari hari lahir Lopa pada 27 Agustus.

Lopa terpilih sebagai tokoh anti korupsi karena telah bekerja dan berjuang untuk melawan ketidakadilan dengan memberantas korupsi di Indonesia tanpa putus asa selama lebih dari 20 tahun. Almarhum Lopa, katanya, adalah sosok abdi negara, pegawai negeri yang bersih, jujur, bekerja tanpa pamrih, dan tidak korup.

Menurut Ketua Gowa Farid Faqih, korupsi di Indonesia telah menyebabkan kebodohan dan kemiskinan bagi seluruh rakyat, tidak mungkin diatasi jika pihaknya, lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, militer, dan pimpinan parpol tetap melakukan korupsi. Karena itu perlu dimulai hidup baru melalui gerakan moral dan kebudayaan untuk memberantas korupsi.

Istri Lopa, Indrawulan, telah memberi contoh kesederhanaan istri seorang pejabat. Watak keras dan tegas suaminya tidak dibuat-buat. Karena itu, ia berusaha sedapat mengikuti irama kehidupan suaminya, mendukungnya dan mendoakan bagi ketegaran Lopa.

Lopa telah tiada. Memang rakyat meratapi kepergiannya. Tetapi kepergian Lopa merupakan blessing in disguise bagi para koruptor dan penguasa yang enggan menindak kejahatan korupsi.

***

Dalam usia 25, 
Baharuddin Lopa, sudah menjadi bupati di Majene, 
Sulawesi Selatan. Ia, ketika itu, gigih menentang Andi Selle, Komandan Batalyon 710 yang terkenal kaya karena melakukan penyelundupan.

Lopa pernah menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi di Sulawesi Tenggara, 
Aceh, Kalimantan Barat, dan mengepalai Pusdiklat Kejaksaan Agung di Jakarta. Sejak 1982, Lopa menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi
Sulawesi Selatan. Pada tahun yang sama, ayah tujuh anak itu meraih gelar doktor hukum laut dari Universitas 
Diponegoro, Semarang, dengan disertasi Hukum Laut, Pelayaran dan Perniagaan yang Digali dari Bumi Indonesia.

Begitu diangkat sebagai Kajati Sulawesi Selatan, Lopa membuat pengumuman di surat kabar: ia meminta masyarakat atau siapa pun, tidak memberi sogokan kepada anak buahnya. Segera pula ia menggebrak korupsi di bidang reboisasi, yang nilainya Rp 7 milyar.

Keberhasilannya itu membuat pola yang diterapkannya dijadikan model operasi para jaksa di seluruh Indonesia.Dengan keberaniannya, Lopa kemudian menyeret seorang 
pengusaha besar, Tony Gozal alias Go Tiong Kien ke pengadilan dengan tuduhan memanipulasi dana reboisasi Rp 2 milyar. Padahal, sebelumnya, Tony dikenal sebagai orang yang ''kebal hukum'' karena hubungannya yang erat dengan petinggi. Bagi Lopa tak seorang pun yang kebal hukum.

Lopa menjadi heran ketika Majelis Hakim yang diketuai J. Serang, Ketua Pengadilan Negeri Ujungpandang, membebaskan Tony dari segala tuntutan. Tetapi diam-diam guru besar Fakultas Hukum Unhas itu mengusut latar belakang vonis bebas Tony. Hasilnya, ia menemukan petunjuk bahwa vonis itu lahir berkat dana yang mengalir dari sebuah perusahaan Tony.

Sebelum persoalan itu tuntas, Januari 1986, Lopa dimtasi menjadi Staf Ahli Menteri Kehakiman Bidang Perundang-undangan di Jakarta. J. Serang juga dimutasi ke Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan

Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/846-teladan-jaksa-pendekar-hukum

Sayyang Pattuqduq di Mandar

Peran dan Fungsi Saeyyang Pattuqduq di Mandar 

Penyelenggaraan tradisi saeyyang pattuqduq bagi orang Mandar lebih merupakan apresiasi positif masyarakat dalam hal ini orang tua anak yang telah khatam bacaan Qurannya. Kehadirannya lebih merupakan motivasi bahwa ketika anak tamat mengaji (sudah lancar membaca Al Quran dengan baik dan benar) maka kelak iak akan diarak keliling kampung dengan mengendarai kuda yang pintar menari (saeyyang pattuqduq). Ditilik dari kaidah pendidikan, keberadaan saeyyang pattuqduq ini merupakan hadiah (reward) bagi anak yang telah menyelesaikan pendidikan, khususnya dalam hal pendidikan keagamaan. Sebab pada saat anak diserahkan ke guru mengajinya, maka kelak ia akan dididik bukan hanya tata cara membaca Al Quran dengan baik dan benar, anak juga akan diajarkan pendidikan akhlak dan budi pekerti yang baik.

Foto : Armand@ar Blog
Dengan janji akan diarak berkeliling dengan menunggangi saeyyang pattuqduq anak-anak kelak akan rajin mengikuti pembelajaran di tempat mengajinya (TPA dan sejenisnya).dan tidak terlupakan makna filosofi Saeyyang Pattuqduq. 

Seiring dengan perkembangan jaman, peran dan fungsi saeyyang patuuqduq juga mengalami perkembangan. Saeyyang pattuqduq tidak diperuntukkan bagi anak-anak yang sudah khatam Quran, bahkan lebih dari itu peran dan fungsinya bergeser. Tradisi ini juga sering diselenggarakan manakala ada tokoh (pejabat publik, elit politik) saat datang di tanah Balanipa Mandar dan penyambutan wisatawan asing yang dating di Mandar mereka di jemput dan diarak dengan saeyyang pattuqduq. Bahkan sudah menjadi agenda tahunan penyelenggaraan festival saeyyang pattuqduq di Kabupaten Polewali Mandar,Kabupaten Majene dan Kabupaten Mamuju biasanya, para peserta terhimpun dari berbagai kampung yang ada di desa Daerah tersebut . Diantara para peserta ada yang datang khusus dari desa sebelah, bahkan ada juga yang datang dari luar Kabupaten, maupun luar Provinsi Sulawesi Barat

Rangkaian acara tahunan ini, Pada momentum ini biasanya melibatkan sekitar 20 sampai 100 kuda pattuqduq dan diikuti lebih dari ratusan peserta tiap tahunnya.Dampak positif dari kegiatan festival ini adalah bahwa para pemilik kuda yang pintar menari ini mendapatkan penghasilan tambahan, karena kuda pintar mereka dipersewakan dengan tarif yang lebih dari biasanya.

Memang duduk di atas saeyyang pattuqduq akan menakutkan dan melelahkan, tapi cukup menyenangkan bagi mereka yang baru pertama kali merasakannya (tidak terbiasa). oleh karenanya untuk menaiki punggung saeyyang pattuqduq, haruslah seseorang memiliki nyali yang besar, karena hail ini cukup menantang.

Pesta Adat Sayyang Pattudu

Kuda Pattuddu yang digunakan oleh orang yang akan merayakan khatamul quran tersebut di hiasi sedemikian rupa layaknya kuda tunggangan raja yang akan melakukan pesiar ke daerah kerajaan yang di kuasainya atau menghadiri undangan kerajaan tetangga. Begitu pula dengan orang yang menungganginya , diahiasi dengan menggunakan pakaian adat Mandar dengan menaungi payung kehormatan yang di sebut dengan istilah Lallang Totamma.

Untuk menggunakan kuda Patuddu ini tidaklah murah, seseorang yang berminat untuk khatamul qur’an dengan adat pattuddu harus merogoh kocehnya sedalam mungkin.sewa seekor kuda biasanya Rp 650 ribu.Biaya itu diluar perongkosan untuk membayar penabuh rebana yang setia mengiringi setiap langkah kuda kemana saja yang mencapai Rp.1,5 juta untuk satu grup yang berjumlah puluhan orang tersebut.sebab tanpa para penabuh Rebana ini kuda Pattuddu ini tidak akan menari, hanya berjalan biasa seperti layaknya kuda lainnya. Dana sebesar itu belumlah final dalam perongkosan untuk menggelar khatamul quran dengan menggunakan adat patuddu, sebab anggaran komsumsi pun mencapai puluhan juta sebab acara ini di gelar layaknya sebuah hajatan mriahnya sebuah pernikahan bahkan melebihi dari itu.

Tujuan dari pergelaran kuda Pattuddu ini adalah untk memberikan motivasi dan spirit kepada generasi muda untuk senantiasa mengamalkan dan mempelajari ayat ayat suci al quran dan menjadi salah satu implementasi bentuk syiar Islam pada zaman kerajaan. hanya saja kuda Pattuddu ini cuma di gelar oleh suku suku mandar yang menjadi mayoritas di sebuah perkampungan, sementara suku suku Mandar yang ada di perantauan sulit untuk mendatangkan kuda sebagai salah satu binatang utama dalam menggelar Kuda Pattuddu, sebab kuda ini tergolong istimewa yang hanya di gunakan pada saat ada pergelaran adat semacamnya, sementara jika pergelaran itu usai, ia hanya dipelihara tanpa di gunakan tenaganya.

Selain itu Pesta Adat Sayyang Pattudu di kenal istilah Tiriq” atau pohon telur yang diarak keliling Sayyang Pattudu (kuda menari), begitulah masyarakat suku Mandar, Sulawesi Barat menyebut acara yang diadakan dalam rangka untuk mensyukuri anak-anak yang khatam (tamat) Al-Qur‘an. Bagi warga suku Mandar, tamatnya anak-anak mereka membaca 30 juz Al-Quran merupakan sesuatu yang sangat istimewa, sehingga perlu disyukuri secara khusus dengan mengadakan pesta adat Sayyang Pattudu. Pesta ini biasanya digelar sekali dalam setahun, bertepatan dengan bulan Maulid/Rabi‘ul Awwal (kalender Hijriyah). Pesta tersebut menampilkan atraksi kuda berhias yang menari sembari ditunggangi anak-anak yang mengikuti acara tersebut.

Bagi masyarakat Mandar, khatam Al-Qur‘an dan acara adat Sayyang Pattudu memiliki pertalian erat antara satu dengan lainnya. Acara ini tetap mereka lestarikan dengan baik, bahkan masyarakat suku Mandar yang berdiam di luar Sulawesi Barat dengan sukarela akan kembali ke kampung halamannya demi mengikuti acara tersebut.


Ritual istimewa

Ritual istimewa bagi warga suku Mandar, suku yang lebih dari mayoritas mendiami Sulawesi Barat, khatam Al Quran adalah sesuatu yang sangat istimewa sehingga tamatnya membaca 30 juz Al Quran tersebut disyukuri secara khusus. Namun, tidak semua warga yang berdiam di Sulawesi Barat menggelar acara Sayyang Pattuddu`. "Bagi masyarakat Mandar, tamat membaca Al Quran adalah sesuatu yang penting sebelum memasuki bangku sekolah dasar. Makanya, sejak belia sudah belajar mengaji sejak usia lima tahun. Tidak butuh waktu lama, asalkan tekun, tidak sampai setahun, dia sudah tamat,"

Puncak acara khatam Al-Qur‘an dengan menggelar pesta adat Sayyang Pattudu ini memiliki daya tarik tersendiri dengan diramaikan arak-arakan kuda mengelilingi desa yang dikendarai oleh anak-anak yang telah menyelesaikan khatam Al Quran ini setiap anak mengendarai kuda yang sudah dihias sedemikian rupa. Kuda-kuda tersebut juga sudah terlatih untuk mengikuti irama pesta dan mampu berjalan sembari menari mengikuti iringan musik, tabuhan rebana, dan untaian pantun khas Mandar yang mengiringi arak-arakan tersebut.

Ketika duduk di atas kuda, para peserta yang ikut Sayyang Pattudu akan mengikuti tata atur baku yang berlaku secara turun temurun. Dalam Sayyang Pattudu, para peserta duduk dengan satu kaki ditekuk ke belakang, lutut menghadap ke depan, sementara satu kaki yang lainnya terlipat dengan lutut dihadapkan ke atas dan telapak kaki berpijak pada punggung kuda. Dengan posisi seperti itu, para peserta didampingi oleh Pesarung tadi agar keseimbangannya terpelihara ketika kuda yang ditunggangi menari. Peserta Sayyang Pattudu akan mengikuti irama liukan kuda yang menari dengan mengangkat setengah badannya ke atas sembari menggoyang-goyangkan kaki dan menggeleng-gelengkan kepala agar tercipta gerakan yang harmonis dan menawan.Saat acara sedang berjalan meriah, tuan rumah dan kaum perempuan sibuk menyiapkan aneka hidangan dan kue-kue untuk dibagikan kepada para tamu. Ruang tamu dipenuhi dengan aneka hidangan yang tersaji di atas baki yang siap memanjakan selera para tamu yang datang pada acara tersebut.

.Pesta adat Sayyang Pattudu lebih biasanya diadakan di Desa Karama, kelurahan Tinambung,Kecamatan Tinambung,desa Pambusuang dan Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.Untuk mencapai lokasi, para wisatawan dapat menggunakan angkutan umum atau kendaraan pribadi. Untuk menuju lokasi, perjalanan dapat dimulai dari Bandara Tampa Padang yang terletak di Kota Mamuju. Dari bandara tersebut perjalanan kemudian dilanjutkan ke Kota Polewali Ibu Kota Kabupaten Poleweli Mandar, Sulawesi Barat dengan waktu tempuh 1 jam 30 menit. Setelah sampai di Kota Poleweli, kemudian perjalanan dilanjutkan ke lokasi yang berjarak sekitar 52 km dengan waktu tempuh sekitar 45 menit. Tidak di pungut biaya.

Di Desa Karama, tempat pesta adat ini dilaksanakan, belum ada hotel untuk menginap bagi para wisatawan yang datang dari luar daerah. Tapi tidak usah gundah, sebab masyarakat setempat membuka pintu rumah mereka bagi tamu yang datang ke daerah tersebut untuk menyaksikan pesta adat Sayyang Pattudu. Begitu juga untuk makanan, para wisatawan akan mendapatkan suguhan yang memuaskan dengan beraneka makanan yang disediakan oleh tuan rumah untuk menyambut tamu.


Asyiknya Prosesei Saeyyang Pattuqduq

Sejak pagi warga berduyun-duyun mendatangi masjid, membawa berbagai hantaran dalam sebuah balasuji (wadah berbentuk segi empat besar yang terbuat dari bambu). Isi balasuji beragam, di antaranya pisang, kelapa, gula merah, beras, dan kue-kue tradisional. Mereka yang sudah sampai di masjid kemudian berzikir dan membaca doa hingga menjelang siang. Saat zikir usai, isi balasuji dibagi-bagikan kepada warga sekitar. Tak jarang pula pemilik balasuji saling bertukar isi dengan pembawa balasuji lainnya.

Pada saat yang sama, di rumah-rumah warga, kaum perempuan sibuk menyiapkan aneka masakan dan kue-kue. Umumnya di rumah-rumah yang penghuninya menggelar acara khitan, ruang tamu disulap menjadi tempat makan lesehan dengan baki dan tatakan makan lainnya yang penuh berisi beragam jenis makanan dan kue-kue.

"Kalau sudah begini, siapa pun yang singgah wajib mencicipi hidangan yang disajikan. Bahkan biasanya dari desa lain pun ada yang datang menyaksikan acara ini dan mereka juga dipanggil naik ke atas rumah untuk makan. Jadi, biasanya kami memang menyiapkan cukup banyak makanan.

Kegembiraan dan keramaian tidak hanya berlangsung pagi hingga siang hari itu. Malam sebelumnya, rumah-rumah warga, yang putranyaputrinya mengikuti acara khatam, sudah diramaikan suara orang-orang yang membacakan ayat-ayat suci Al Quran, lagu-lagu kasidah, dan tetabuhan rebana. Alunan syahdu itu terdengar sejak waktu shalat isya hingga menjelang pagi.

Saat yang paling ditunggu-tunggu akhirnya tiba menjelang sore. Puncak acara ini ditandai dengan arak-arakan anak-anak yang tamat mengaji (khatam Al Quran) keliling desa. Anak-anak yang diarak masing-masing menunggangi kuda berhias.Kudanya pun bukan sembarangan. Kuda-kuda tunggangan itu mampu berjalan sembari menari. Kuda-kuda tersebut menari diiringi tabuhan rebana dan pembacaan pantun khas Mandar.

Tak pelak, kegembiraan warga tumpah ruah bersamaan dengan dimulainya arak-arakan. Di sepanjang jalan yang dilalui arak-arakan kuda, warga biasanya berdesak-desakan bahkan banyak di antaranya yang berjalan mengikuti arak-arakan. Biasanya, setiap kali kuda yang diunggulkan lewat, mereka akan bersorak-sorai mengelu-elukan kuda tersebut.

Sorak-sorai bertambah ramai bila tarian kuda cukup lama dan bagus. Memang di sela arak-arakan, kuda beberapa kali berhenti kemudian memain-mainkan kaki depannya secara bergantian sembari menggeleng-gelengkan kepala ke kiri dan kenan layaknya sedang menari.

Satu per satu kuda diatur berbaris di depan masjid. Di atas kuda duduk seorang pissawe (pendamping) yang mengenakan pakaian adat mandar lengkap. Lazimnya yang menjadi pissawe adalah perempuan. Tak mudah menjadi seorang pissawe karena butuh keseimbangan tubuh yang bagus.

Pasalnya, saat duduk di atas kuda, pissawe harus duduk dengan satu kaki ditekuk ke belakang dengan lutut mengarah ke depan dan satu kaki lainnya terlipat dengan lutut mengarah ke atas dan telapak kaki berpijak pada badan kuda. "Dengan model duduk seperti ini, keseimbangan harus betul-betul terjaga saat kuda yang ditunggangi menari dengan mengangkat setengah badannya ke atas sembari menggoyang - goyangkan kaki dan menggeleng-gelengkan kepala. Walaupun ada yang membantu memegang kuda, tetapi kalau tidak kuat, bisa jatuh.

Di belakang pissawe duduk anak yang khatam mengaji atau yang disebut to tamma’tadi Yang perempuan mengenakan pakaian muslim dan penutup kepala, sedangkan anak laki-laki mengenakan baju gamis yang dilengkapi penutup kepala layaknya digunakan orang di Timur Tengah. Di samping kiri dan kanan kuda, empat orang memegang kuda. Mereka juga disebut pissarung.

Selain itu, ada pula seorang pakkaling da’ddaq`berdiri di bagian depan, tepat di sebelah kepala kuda. Pakkaling da’ddaq` adalah orang yang bertugas membaca pantun dalam bahasa mandar sepanjang arak-arakan dilakukan. Biasanya pantun yang diucapkan berisi kata atau kalimat yang lucu dan selalu disambut penonton dengan sahutan, teriakan, celetukan, atau tepukan tangan.

Di depan kuda ada pemain rebana yang berjumlah 6-12 orang. Kelompok ini terus memainkan rebana dengan irama tertentu sembari kerap berjingkrak-jingkrak, mengiring kuda menari. Pukulan rebana biasanya akan terhenti sejenak bila pakkaling dadda` mengucapkan pantun.

Dari situlah saya menyadari betapa kebangganku terhadap Negeri kelahiranku ini Balanipa Mandar sang mastero Nusantara kaya akan kebudayaan yang teramat khas substansinya namun yang di khwatirkan ialah kebudayan – kebudayaan Mandar jangan sampai menjadi Subyektifitas yang terlupakan oleh masyrakatnya sendiri.

Saeyyang Pattuqduq pada Festifal kebudayaan Se – Nusantara di Istana Merdeka Jakarta pada bulan Agustus 2008 silam pada momen memperingati hari kemerdekaan Indonesia, mengantar Sulawesi Barat sebagai provinsi termuda di Indonesia menjadi yang terbaik kemudian di susul secara berturut,kembali Sulbar di ajang yang sama di tahun 2009 lewat Perahu Sandeq (perahu tanpa mesin tercepat Nusantara) menjadi yang terbaik dari 33 provinsi yang ada di Indonesia.


*sumber : http://armandarsimplestudio.blogspot.com/2013/06/sayyang-pattudu-kuda-menari-di-tanah.html

Fotografer Mandar Dewasa Ini (1)

Setahu saya, masyarakat umum terdidik (baca: yang pernah menempuh pendidikan sampai universitas) Tinambung yang memiliki minat terhadap fotografi (bukan sebagai pekerjaan, tapi sebagai hobby) era 90-an hanya ada dua, yaitu Asmadi Alimuddin dan Syariat Tadjuddin. Parameternya, mereka punya kamera SLR dan biasa melakukan hunting(pemotretan) bukan karena pesanan (untuk membedakan dengan fotografer yang hanya memotret acara-acara pernikahan atau acara lain).
Asmadi Alimuddin atau Asmadi Taro orang Tinambung yang kuliah di ISI Yogyakarta. Jurusannya teater, tapi ada minat ke fotografi. Beberapa kali hunting foto di beberapa tempat di Mandar.
Adapun Syariat Tadjuddin, (dulu) seorang wartawan (sekarang PNS di Pemkab Majene). Pernah menuntut ilmu hukum di Universitas Andalas Padang dan menjadi wartawan di Kalimantan Timur dan Makassar. Jadi bisa diartikan, basis Syariat adalah dokumentasi jurnalis, beda dengan Asmadi yang tidak pernah bekerja di media, misalnya sebagai fotografer lepas (stringer).
Belakangan, setelah bekerja sebagai PNS di Palu (untuk kemudian di Mamuju) dan mempunyai kesibukan lain, Asmadi sepertinya tidak melanjutkan hoby fotografinya. Beda dengan Syariat, masih berlanjut sampai sekarang. Dengan istilah lain, Syariat, yang juga mantan ketua Teater Flamboyan, lanjut ke fotografi digital, sedang Asmadi tidak. Pada tahun 1997 Syariat menggunakan SLR Yashica,  tahun 2000 SLR Canon, dan DSLR Nikon D5000 Februari 2010.
Pengguna DSLR lainnya di Tinambung adalah Studio Rusman (usaha almarhum H. Safar yang sekarang dikelola anak-anaknya), Wahyudi (tinggal di Tangnga-tangnga, sekarang menuntut ilmu fotogarfi di Yogyakarta) dan DJ Abi Qiffary (sekarang menuntut ilmu di Makassar). Ketiganya menggunakan EOS 1000D (Studio Rusman juga menggunakan Nikon D3000).
Yudhi membeli kameranya pada Mei 2009 dengan harga Rp 5,8 juta. Nanti pada tahun 2010 bertambah pengguna DSLR di Tinambung. Selain M. Syariat Tadjuddin yang saya tuliskan sebelumnya, juga Abu Madyan. Mereka menggunakan Nikon D5000. Menurut Abu Madyan, dia membeli kameranya pada Mei 2010 dengan harga Rp 6,3 juta.
Sedang fotografer Tinambung yang masih menggunakan SLR analog dalam arti sepenuhnya (tak memiliki digital) antara lain adalah Sabri, Husain (putra Ga’de sekarang tinggal di Pambusuang), dan beberapa fotografer yang “ber-asosiasi” ke beberapa “orang bencong” yang menyediakan jasa penyewaan perlengkapan pesta pernikahan dan make up-nya.
Sabri
Sabri tinggal di Tinggas-tinggas, antara mesjid Tinggas-tinggas dan kantor PLN Tinambung. Dulunya berguru atau bekerja di Studio Pammase milik Ismail (Suma’ila). Sejak tahun 1998, telah memiliki kamera sendiri, yakni Nikon FM10.
Walau Sabri dikenal sebagai fotografer pesta pernikahan, sebagaimana kebanyakan fotografer “profesional” di Tinambung, dia sedikit banyak berbeda dengan kolega-nya. Sabri memiliki sedikit rasa hobi atau kecintaan terhadap fotografi. Menggunakan istilah “sedikit” untuk membedakan tingkat kecintaan terhadap dunia fotografi yang dimiliki oleh H. Djawahir, H. Murad, dan Muluk Yasil.
Artinya, karya-karya Sabri sebagian besar masih berdasar pada pesanan. Untuk mengambil gambar dalam rangka kepuasan dan sebagai dokumentasi sejarah, belum.
 Saat ini Sabri menggunakan dua jenis kamera, selain Nikon, juga Braun. Menurutnya, lensa Nikkor (milik Nikon) bisa dipasang ke kamera Braun.
Dia mempunyai cita-cita bisa belajar fotografi secara akademis. “Kalau ada kursus fotografi di Makassar yang diselanggarakan Darwis Triadi, saya mau ikut”, ungkapnya.
Menariknya, Sabri masih menyimpan foto (tapi sudah repro) saat dia bayi yang tukang fotonya Toke Ballang. Meski tidak tahu banyak tentang Toke Ballang, Sabri tahu bahwa fotografer yang dulu terkenal adalah Toke Ballang.
Desa-desa di sekitar Tinambung juga ada beberapa fotografer bangkotan. Yang masih berkarya sampai saat ini adalah Karim (Desa Pambusuang) dan Kandallang (Desa Paropo). Saya sudah pernah melihat aksi Karim dan telah mewawancarainya, sedang Kandallang belum.


Karim, tukang becak merangkap fotografer di Pambusuang
Foto : Muhammad Ridwan Alimuddin
Yang menarik di Karim, selain sebagai fotografer, dia juga merangkap sebagai nelayan (dulu) dan tukang becak (sekarang, sampai saat ini). Bagi saya, ini sesuatu yang unik. Jarang ada seorang fotografer yang kerjanya rangkap sebagai tukang becak. Tanpa bermaksud merendahkan pekerjaan tukang becak, kerja fotografer identik dengan pekerjaan elit, sedang tukang becak pekerjaan kasar.
Umur Karim saat ini 50 tahun, lahir di Dusun Ba’balembang, Desa Pambusuang. Hanya sekolah sampai kelas 3 SD. Tidak tamat. Alasannya, sering diganggu anak-anak tentara 710 dan kerja di laut bisa dapat uang banyak.
Setelah beberapa tahun melaut, Karim diajak sebagai pegawai di studio milik Tanwi, di Pasar Pambusuang. Tanwi termasuk fotografer awal di Mandar, khususnya di Pambusuang. Sebelum tinggal di Pambusuang, Tanwi tinggal di Ujung Lero, Pinrang (tak jauh dari kota Pare-pare). Kemungkinan besar, Tanwi pernah atau mendapat pengaruh dari orang Cina yang bekerja sebagai tukang foto di Pare-pare.
Menurut Karim, bosnya menggunakan kamera merk Sanghai “yang membungkus saat menggunakannya”. Dia juga bisa bekerja di kamar gelap. Saat Tanwi pindah ke Kotabaru (P. Laut, Kalimantan Selatan) yang membawa serta kamera kunonya, Karim bekerja sendiri. Nama studionya “Mekar”. Dia menggunakan Nikon. Merknya sudah aus tanda kameranya sudah tua.
Dulu, tahun 70-80an, Karim bekerjasama dengan studio milik H. Murad dan paman saya, Muluk Yasil. Baik untuk beli negatif, servis, maupun cuci cetak.
Menurut Karim, saat ini permintaan memotret sangat kurang. “Saya ini hanya dapat sisa-sisa pesanan. Kalau yang lain sudah penuh, baru saya dapat”, menurutnya. Sebab itulah, sehingga dia merangkap sebagai tukang becak. Begitu cintanya pada kegiatan fotografi, becaknya diberi nama “Konica 1” dan “Konica 2”.
Sekarang Karim tinggal sendiri. Isterinya telah meninggal dunia, tak ada anak. Rumahnya sederhana tapi menarik. Di dinding depan, yang dicat warna khas Argentina, dipasangi poster-poster peserta Piala Dunia 2010. Di atas pintu masuk, terdapat plank “Poto Studi Mekar M. Karim Pbs”.
Suasana dalam rumah masih ada jejak-jejak bahwa ruangan rumahnya juga adalah studio. Ada beberapa lukisan yang biasa dijadikan latarbelakang saat ada yang dipotret dan lemari kaca, tempat yang dulunya diletakkan rol, bingkai yang dijual. Ada juga foto dirinya bersama artis-artis lokal Mandar.

Karim bersiap beraksi
Foto : Muhammad Ridwan Alimuddin
Karim bekerja sama dengan Husain, putra Pammarica (Ga’de) yang tinggal tak jauh dari rumah Karim. Husain umurnya masih muda, hampir seumuran dengan saya, awal kepala tiga (30 tahun). Kameranya ada dua, yaitu Nikon dan Zenit 122, tapi Zenit rusak. Beda dengan Zenit analog saya (Zenit TTL), 122 terbuat dari plastik, jadi ringan.
Bila ada order Husain yang bersamaan dalam satu hari, dia serahkan ke Karim sebagian. Demikian juga untuk urusan beli rol dan cetak hasil. Bila Karim butuh rol film, dia ambil dari Husain, nanti bayarnya; kalau ada yang mau dicetak, negatifnya diserahkan ke Husain. Husain yang urus dengan studio percetakan. (Bersambung)

*Sumber : http://ridwanmandar.blogspot.com/2011/10/fotografer-tinambung-dewasa-ini-1.html?view=timeslide

Mempertanyakan Defenisi “Saqbe Mandar” (01): Sutra Palsu dan Sutra Abal-abal

Foto : Muhammad Ridwan Alimuddin
Dalam bahasa Mandar, kain sutra kadang disebut “saqbe”, kadang “lipaq saqbe”. Mungkin karena kata kain dalam Bahasa Mandar tidak ada kata khususnya. Paling perubahan, dari kain menjadi “kaeng”. Makanya jarang kita dengar “kaeng saqbe”.
Di kalangan komunitas pengerajin kain “sutra” (kata sutra di sini saya beri tanda kutip), ada beberapa istilah untuk menyebut jenis atau kualitas kain “sutra” yang dihasilkan penenun (“panetteq”) Mandar. Ada dibilang “saqbe asli”, ada “saqbe india”, “saqbe cina”, dan lain-lain. Jika berdasar harga, setidaknya ada dua, yang murahan (di bawah Rp 150.000) dan yang mahal (rata-rata Rp 300.000).

Nah, yang laku di pasaran adalah yang murah. Sangat laku! Sebab murah, maka terjangkau. Sebab rata-rata masyarakat kita penghasilannya tidak seberapa dan cari yang murah, tentu yang dibeli yang murah. Kadang, biar banyak uangnya juga cari yang murah.
Juga, kalau membutuhkan “sutra” dalam jumlah banyak, misal akan dibuat baju seragam atau keperluan lain yang memakai kain “sutra”, maka yang dibeli tentu yang murah. Pertanyaannya, kenapa bisa murah? Apakah pada kain yang murah itu patut disematkan kata “saqbe” atau “saqbe mandar”?
Di kalangan pedagang sarung tenun, setidaknya ada tiga kualitas atau jenis benang, yaitu yang nomor satu, nomor dua, dan nomor tiga. Nomor satu adalah benang sutra alami yang diimpor dari Hongkong atau Cina, nomor dua sutra yang dihasilkan lokal (misalnya Enrekang), dan yang nomor tiga adalah benang impor yang juga datang dari Cina.
Perbedaan mendasar antara satu dan dua dengan tiga adalah antara alami dengan tidak alami. Disinilah persoalannya!
Benang sutra alami (“saqbe”) dihasilkan dari kepompong ulat sutra. Kepompongnya sebesar ibu jari, hasil budidaya oleh peternak. Makanan utamanya adalah daun murbei. Waktu saya masih sekolah di MTsN, jika libur, saya biasa ke pedalaman Allu, yaitu Pao-pao atau Ratte Matama (sekarang tidak pedalaman lagi sebab mobil bisa ke dalam) ikut paman membudidayakan ulat murbei.
Pada usia tertentu, kepompong itu diolah, diambil benangnya. Inilah benang “saqbe” asli, sebab betul-betul alami. Benang itu ada kualitasnya. Dipengaruhi oleh kualitas ulat, warna, dan kehalusan benang atau serat yang dihasilkan.
Sepertinya tak ada lagi budidaya ulat sutra di Mandar. Paling dekat itu Enrekang. Jika pun ada yang datang dari Enrekang, itu kualitas nomor dua. Kabarnya, kualitas nomor satu diekspor ke India. Ironisnya, kualitas benang nomor satu diimpor, khususnya dari Hong Kong.

Harga per kilogram sutra asli nomor satu itu 900-san ribu rupiah, sedang kualitas nomor dua 600-san ribu rupiah. Rata-rata dari satu kilogram sutra asli bisa dihasilkan 3 – 4 sarung sutra. Tergantung ukuran sarung yang diinginkan.
Bandingkan dengan benang “saqbe” palsu alias sintetis yang berbahan polyster (bahannya dari minyak bumi, satu keluarga dengan plastik), per paketnya (1 kg benang “nekel” + 1 kg polyster) hanya Rp 150.000 yang bisa menghasilkan jumlah sarung sedikit lebih banyak.
Harap dicatat, benang “saqbe” alami di atas belum diolah. Pengolahannya juga setingkat lebih rumit dibanding dengan sutra alami: benang yang dibeli (masih berbentuk pintalan) yang warnanya agak krem dicuci terlebih dahulu. Proses pencuciannya butuh waktu tiga hari. Benang sutra yang telah dicuci harga per kiloannya Rp 750.000 (sudah masuk ongkos kerja). Nanti setelah dicuci baru memasuki tahapan “maccinggaq” atau pewarnaan. Benang yang diwarnai tergantung jenis atau motif (“sureq”) sarung yang akan dibuat.
Adapun sutra palsu, tidak perlu menjalani proses pencucian. Bisa langsung diwarnai untuk kemudian ditenun. Penampakannya putih bersih, mengkilat.
Tahapan setelah pencucian, yaitu dari “manggalenrong” atau “mappamaling” (melilitkan benang ke kaleng), “massumauq” (menyusun motif), hingga “manetteq” (menenun) antara sutra palsu dengan yang asli bisa dikatakan tidak ada perbedaan. Prosesnya sama-sama merepotkan, membutuhkan ketelatenan. Rata-rata 5 – 7 hari untuk selembar kain yang jika dijahit akan menjadi sarung (“lipaq”).

Sebagaimana yang disampaikan di awal, harga selembar kain sutra Mandar hasil tenunan wanita-wanita Mandar itu ada dua, yang murah dan yang mahal. Sekilas, perbedaan harga disebabkan oleh perbedaan kualitas atau jenis benang yang digunakan. Yaitu asli dengan yang palsu. Sampai di sini mungkin tidak ada persoalan. Namun, jika memasukkan proses pembuatan, ternyata ada masalah besar yang tidak kita sadari.
Jika mengerjakan benang asli, para pengerajin kain sutra di Mandar bisa dapat untung sampai Rp 100 ribu. Jika dirata-ratakan, pendapatan per hari Rp 20.000.
Tapi kalau mereka mengerjakan kain sutra yang berbahan palsu, berapa keuntungan yang mereka dapatkan? Berapa “margin” atau selisih antara ongkos pembelian benang dengan keuntungan jual sarung? Jika mereka mendapat Rp 20.000 – Rp 50.000, kalau itu dibagi 5 (hari kerja), maka gaji mereka per hari Rp 4.000 atau Rp 10.000 saja? Dan tak menutup kemungkinan, mereka seolah-olah mendapat keuntungan padahal pada dasarnya tidak alias keuntungan semu. Sebab proses kerja mereka tak terbayar.

Menurut pendapat saya, orang kaya atau orang mampu lebih mengutamakan membeli kain “sutra” yang murah bisa menjadi pelecehan yang tak disadari. Coba bayangkan, untuk selembar kain yang dikerjakan dengan keterampilan dan ketelatenan luar biasa hanya dihargai dengan harga Rp 5.000 Masalah lain adalah, ternyata apa yang kita anggap selama ini adalah sutra (“saqbe”) ternyata bukan “saqbe”, melainkan benang buatan atau sintetis yang bahannya sama dengan pakaian atau celana yang kita beli di toko (kecuali yang berbahan katun atau kapas). Yang berbeda hanyalah di mana kain itu ditenun (antara tenunan pabrik dengan tenunan “panetteq” Mandar) dan motifnya (umumnya Mandar kotak-kotak). Dengan kata lain ada banyak yang kecele. Dianggapnya sutra asli padahal sutra palsu alias sintetis.
Lalu, yang manakah disebut “saqbe mandar” yang kita bangga-banggakan selama ini?
Bersambung....

*sumber : http://ridwanmandar.blogspot.com/2014/10/mempertanyakan-defenisi-saqbe-mandar-01.html